Sunday, October 22, 2006

Menyikapi perbedaan penentuan 1 Syawal 1427H

Di rumah mertua sini lagi ada sedikit perselisihan... topiknya apa lagi kalo bukan "Kapan Lebaran?". Soalnya semenjak Muhammadiyah menyatakan penetapan hari Lebaran (Idul Fitri) yang berbeda dengan keputusan Negara (via MUI), maka bibit-bibit perpecahan pun mulai muncul...

Mengapa Muhammadiyah menetapkan keputusan berbeda? Ini terjadi karena perbedaan cara perhitungan. MUI menerapkan sistem pemantauan terhadap "hilal" (tanda munculnya bulan baru), alias metode "rukyat", sedangkan Muhammadiyah cenderung mempergunakan sistem "hisab" (perhitungan).

Lantas kalau dikaitkan mengenai pemerintah Arab Saudi yang ternyata menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Senin, 23 Oktober 2006, gw gak terlalu peduli... kenapa? Bukannya karena sistem perhitungan mereka cacat, namun antara Arab Saudi dan Indonesia terdapat perbedaan letak geografis yang cukup significant, sehingga tidak secara otomatis apa yang berlaku di Arab Saudi, berlaku pula di Indonesia. Sedangkan bedasarkan sunnah Nabi, seorang muslim harus memakai perhitungan berdasarkan lokasi dimana ia berada, bukan berdasarkan perhitungan di Arab... Jadi dalam hal ini ummat muslim harusnya mengikuti keputusan yang dibuat oleh para alim ulama dari negaranya, kecuali kalau memang dianggap tidak ada yang kompeten.

Kalo dulu-dulu gw dan keluarga selalu kompak, dan selalu ngambil kata sepakat, maka keliatannya di keluarga mertua sistem ini kurang berjalan... Salahsatu ipar isteri, menyatakan pertimbangan bahwa menurutnya, MUI tidak menerapkan sistem perhitungan yang komprehensif dan cenderung hanya mengandalkan pada rukyat. Padahal ada beberapa metode yang harus ditempuh untuk penentuan hal ini... Jadi karena khawatir melaksanakan yang haram (jika ternyata benar 1 Syawal 1427H jatuh pada hari Senin, maka puasa hari itu diharamkan), maka ia memutuskan untuk menerima pendapat Muhammadiyah akan penentuan tanggal 1 Syawal; hari Senin, 23 Oktober 2006.

Duh bingung... Namun dengan tidak mengecilkan pendapat ipar (maupun negara), maka gwpun melakukan apa yang biasa gw lakukan kalau menghadapi ambiguity; Googling!

Hal pertama yang gw perlu ketahui adalah, "Bagaimanakah pendapat ormas dan orpol Islam lainnya mengenai hal ini?"

Jika pendapat Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama sudah sering diudarakan di TV, bagaimanakah dengan pendapat pihak lain? Pihak yang kredibilitasnya bisa gw percaya secara pribadi? Maka gwpun berusaha mencari tahu gimana keputusan dari Partai Keadilan Sejahtera, alias PKS; orpol Islam yang dalam kampanye dan aksi2 nya selalu melancarkan image positif, simpatik, dan santun.

Ternyata berbeda dengan pendapat ipar, Dewan Syariah Pusat PKS dalam website resmi PKS menyatakan keputusan untuk menetapkan tanggal 1 Syawal 1427H pada hari Selasa, 24 Oktober 2006, mengikuti keputusan negara. Lucunya, salahsatu hal yang mereka "garisbawahi" adalah perkara "berjama'ah".

Mengenai berjama'ah ini sendiri kebetulan sudah pernah gw temui pada beberapa wacana dari teman-teman MP maupun artikel-artikel di web, mengenai adanya hadist Nabi yang mengharuskan "berjama'ah" ini sebagai salahsatu aturan dasar penentuan. Tapi in the mean time, gimana sih pendapat ormas / orpol Islam lainnya?

Dari NU, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghozali Masroeri, di Jakarta menyatakan, melihat bulan dengan mata kepala (ru`yatul hilal bil fi`li) untuk menentukan awal bulan Qomariyah atau Hijriah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sesuai dengan perintah Nabi

Muhammad SAW. Adapun hisab atau perhitungan menurut cara ilmu pengetahuan (astronomi) hanya berfungsi sebagai pembantu belaka.

(http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=269234&kat_id=23)

Sedangkan dari Persis, didapatkan juga hal yang sama; 1 Syawal 1427H jatuh pada hari Selasa, tanggal 24 Oktober 2006. (http://www.persis.or.id/site/index.php?option=com_content&task=view&id=28)

Oke, ternyata sebagian besar dari ormas/orpol Islam ini menyatakan "rukyat" (melihat bulan secara visual) sebagai dasar penentuan mereka. Lantas pertanyaan berikutnya adalah, "Gimana sih sebenernya posisi atau kedudukan antara dua metode; rukyat vs. hisab ini?"

Kembali ke Googling... dan dapet satu artikel yang isinya cukup komplit walaupun dipasang bukan di website yang gw kenal... Dan beginilah runtutan fakta yang bisa gw telaah....

FirmanNya:
Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah:: "Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia. (QS Al Baqarah:189). 
Sabda Nabi:
Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya. (Hadits).
Berdasarkan dua sumber hukum itu saja sudah tertera jelas bahwa cara perhitungan / penentuan awal bulan Islami adalah melalui metode melihat hilal secara visual.

Lalu bagaimanakah jika ternyata hilal tidak bisa dilihat pada saat diperkirakan sudah waktunya berganti bulan?

Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar , berkata:
"Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya, Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin
mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Id". [15] 
Jika belum terlihat hilal, maka teruslah berpuasa! Dan karena para pengamat MUI di pelosok tanah air ini per-Maghrib hari Minggu 22 Oktober 2006 ini belum ada yang melihat hilal, maka berarti untuk wilayah Indonesia tanda pergantian bulan belum terlihat, jadi pada hari Senin 23 Oktober 2006 kaum muslim masih diharuskan untuk berpuasa.

Lantas pertanyaan berikutnya, "Bagaimanakah penyelesaiannya jika ternyata antara para ahli ada yang berbeda pendapat?"

Sabda Rasulullah:
"Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, lalah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih."
Ash Snan'ani, ketika mensyarah hadits ini berkata: "Dalam hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia, karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru'yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka". [14]

Ternyata untuk penentuan bulan baru yang terkait dengan ibadah-ibadah khusus (Sholat Id, Qurban) maka faktor bersama-sama adalah penting! Dan bukankah Islam berulangkali menempatkan masalah berjama'ah ini sebagai suatu prioritas?

Dan dalam hal ini, walaupun Republik Indonesia bukanlah negara Islam, namun karena pemerintah Republik Indonesia memiliki dewan yang dianggap cukup credible untuk menentukan penanggalan Islami (termasuk penentuan jatuhnya tanggal 1 Syawal), maka keputusan negara memiliki kedudukan yang prioritas. Apalagi metode yang mereka pakai adalah metode yang memang kuat landasan hukumnya.

Lalu jika kembali ke pembahasan diawal mengenai "khawatir melaksanakan shaum yang haram pada tanggal 1 Syawal, jika ternyata negara membuat keputusan yang salah", ternyata ada hadistnya juga dari Nabi:

Nabi bersabda tentang para penguasa:

"Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka"

Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum Muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan. [17]

Jadi dalam hal ini, Nabi menjamin bahwa seorang muslim berada dalam posisi yang aman, jika dikaitkan terhadap kemungkinan kesalahan keputusan pemerintah / penguasa. Sedangkan sikap memutuskan untuk tidak berpuasa pada hari Senin, 23 Oktober 2006 karena khawatir melaksanakan sesuatu yang haram, dan tokh bisa diganti (qodho) dengan shaum dilain waktu, gw anggap sebagai suatu sikap yang kurang tegas...

Jadi sebagai kesimpulan akhirnya:

Berdasar pada metode rukyat, plus hadist Nabi mengenai keutamaan melaksanakan 1 Syawal bersama-sama, dan anjuran Nabi untuk mengikuti keputusan pemerintah, maka gw pun memilih untuk mengikuti 1 Syawal-nya Pemerintah RI: pada hari Selasa, 24 Oktober 2006.

Sekian, kalau ada rekan-rekan yang memutuskan untuk merayakan 1 Syawal 1427H pada hari Senin 23 Oktober 2006 ini, silakan... anda pasti punya pertimbangan tersediri yang anda yakini benar... Lagipula tanggung-jawabnya tokh bukan dengan teman/sahabat/lingkungan, tapi terhadap our own conscious dan dengan Alloh SWT. Yang pasti, sekarang gw udah nggak galau lagi karena keputusan gw udah berdasarkan pengertian, bukan ikut-ikutan semata. (bay)

Catatan:

[14] Subulus Salam (2/134).

[15] Hadits dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitab Shalat, Bab (Idza Lam Yakhrujil Imam Ul 'Id...) no. 1.157.

[17] Majmu' Fatawa (25/206).

Sumber2 dalil tersebut dikutip dari: http://forsitek.brawijaya.ac.id/index.php?do=detail&cat=fatwa&id=ftw-hariraya, dicopy dari: Majalah As-Sunnah Edisi 07 [Tahun VIII/1425H/2004M]




















35 comments:

  1. :-)
    Bingung ya...
    Aku dan suami juga InsyaAllah berlebaran Selasa , tapi Ortu dan ipar ku lebaran hari ini.
    Thanks infonya.... Kang Bay !

    ReplyDelete
  2. sekadar info.. kalo di belanda, kbri memutuskan hari senen ini adalah 1 syawal..


    gak pnting ya? :p

    ReplyDelete
  3. hmm... penting dho, soalnya jadi penasaran.... apakah Belanda nggak punya semacem lembaga Islami yang dipercaya buat penentuan tanggal 1 Syawal ini? Trus apa KBRI Belanda punya tim penyelidik tersendiri jadi berani untuk mengeluarkan keputusan ini?

    ReplyDelete
  4. mencerahkan sekali kang Bayu
    kalau dari vcd ensiklo anak muslim punya Iyog, perhitungan penentuan awal bulan yg lebih utama adalah yg rukyat, alias melihat hilal didukung dengan hisab
    ya, aku siy, manut sama pemerintah, kan anggota sidang mayoritas belum melihat hilal
    tapi kakakku ada yg berlebaran hari ini, ya dihormati keyakinannya :)

    ReplyDelete
  5. beruntung ya, anak-anak jaman sekarang... gw yang dah oom oom aja baru ngeh tadi malem soal hilal + rukyah ini =P

    ReplyDelete
  6. betul, karena pastinya sudah melalui pertimbangan masak juga kan? di keluarga Nade disini juga sebagian dah nggak puasa =)

    ReplyDelete
  7. gue duooong dah lebaraanaaaan.. hihihihi

    ReplyDelete
  8. Yup, semestinya pertimbangan adalah geografis, bukan ideologis ke-ormasan.
    Jd kita tunggu, jika suatu saat Dien Syamsuddin jadi Menag.
    Apakah perbedaan ini masih ada....

    ReplyDelete
  9. Subhanallah tulisannya kang Bayu, thanks ya kang. Keluarga saya juga ikut pemerintah kok dalam hal ini. Lagipula saya rasa pemerintah itu wajib ditaati selama bukan dalam hal yang jelek dan ada dalilnya lho :)

    ReplyDelete
  10. apapun itu, kalau dari awal mengikuti muhamadiyah,
    ya ikutin juga akhirnya.

    jangan awal ikut pemerintah (puasanya) eh lebarannya ngikut muhamadiyah,
    gak bulat sebulan dong,

    jangan ampe deh nggoblokin Allah deh,
    perbedaan ini sebuah keindahan koq..santai aja..

    yang penting niat kita bukan ?
    yang satu matematis, yang satu geografis,
    sah-sah aja ey..IMHO...

    ReplyDelete
  11. met lebaran yas, mohon maaf kalo ada kesalahan yaaa

    ReplyDelete
  12. Semoga tahun-tahun depan bisa lebih kompak bang =)

    ReplyDelete
  13. Sama-sama kang Indra, saya juga sependapat, jangan pukul rata untuk selalu suudzon sama pemerintah... =)

    ReplyDelete
  14. iya, jangan juga karena pertimbangan males nyelesaiken sehari lagi ya dartz =)

    ReplyDelete
  15. syukur alhamdulilah, sampai jam 9 semalam, sudah berniat tak berpuasa Senin ini, tapi tiba2 ada tulisan brjalan di tv *kok ga pake pidato menteri agama lagi ya?* dan alhasil gw sahur lagi dan puasa lagi... *yah sekali2 nurut amirullah khan boleh tho, sudah dua tahun mbalelo terus soalnya*

    ReplyDelete
  16. Met lebaran buat yang lebaran..... :D

    ReplyDelete
  17. kalau di sumatera barat, sebagian malah sudah shalat idul fitri hari minggu...
    mau shalat minggu kek, senin kek, selasa kek....yang penting tetap satu syahadat...
    (btw, sy lebaran senin....)

    ReplyDelete
  18. Bagus Bay.. terlepas dari keberpihakan tulisan yg udah kamu bikin, di sini kita makin terbuka untuk melihat cara kita atas iman (yakin) kita. Sebetulnya kita puasa itu atas dasar apa sih? keyakinan? karena orang tua? karena mertua? gak enak sama tetangga? atau malu sama keponakan? Intinya, yakinkan bahwa kita berpuasa itu utk Allah.

    Begitupun di akhir masa puasa kita akan merayakan hari kemenangan (Idul Fitri). Silakan pilih hari kemenangan atas KEYAKINAN masing-masing. Lengkapi keyakinan tadi dengan info dan ilmu2 yg kita punya, insyaallah itu adalah keputusan baik.

    Tulisan Kang / Oom Bayu ini sangat melengkapi kita dalam memilih. Pikirkan itu yakinkan dan lakukan dengan iklas. Udah gitu gak usah dijadikan perdebatan panjang apalagi sampai berseteru. Jangan jadikan hari kemenangan ini menjadi hari permusuhan.

    Gue hanya berpegang pada salah satu hadits, bahwa untuk menjalankan 1 Syawal adalah dengan mengikuti ULIL AMRI (pemerintah) dan gue setuju dengan cara "berjamaah" yang Oom Bayu tulis. Perihal HISAB dan RUHYAT itu adalah cara-caranya, keputusan akhir tetap di Ulil Amri. Insyaallah saya punya ulil amri yang bertanggung jawab atas setiap keputusannya, jika ternyata salah.. toh bukan kita juga yang dosa :)

    Minal Aidin Wal Faidzin buat semua ya... kapan pun lebarannya, goalnya tetap satu koq.. kembali kepada fitri-nya

    ReplyDelete
  19. kalimat penutup yang bagus :)) hati yang mantap memutuskan karena punya dasar pengetahuan... nabi juga bilang, 'tinggalkan kalo ragu2!'

    met lebaran, mohon maaf lahir batin :)

    ReplyDelete
  20. mohon maaf lahir batin. saya berkeputusan hari ini berlebaran...
    no argue about it, murni karena mengikuti maklumat ulama Muhammadyah..
    *gak ikut2an permerintah,..:p,.. juga no argue about it*

    ReplyDelete
  21. yah kang.. kapan pun lebarannya.. tetep kan kita masih lebaran bukan..
    met lebaran yah.. salam sama istri..

    ReplyDelete
  22. met lebaran kang bayu&keluarga ... mohon maaf lahir batin

    ReplyDelete
  23. sejak dulu saya ikut pemerintah dalam hal penentuan 1 syawal. jadi kalo ternyata pemerintah salah, itung2 nambahin dosa pemerintah...hahahaha

    aniwe, selamat lebaran mohon maaf lahir bathin, Kang Bay...

    ReplyDelete
  24. kasian pemerintah, udah bikin dosa yang berat-berat, ditambah dosa salah rukyat (kalo salah) .
    Berat jadi pemerintah, tapi kok pada rebutan ya jadi pejabat...

    ReplyDelete
  25. Ada rubrik konsultasi yang menarik untuk dicermati sebagai wacana kedepan. Saya kutipkan bagian akhirnya aja. (Anyway, Taqabalallhu minna wa minkum, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427, Mohon Maaf Lahir dan Bathin...Dari saya dan istri)
    http://www.eramuslim.com/ust/dll/4535d5d1.htm
    ......
    Nah, adakah dalam sejarah pemerintahan di negeri ini pernah melakukan apa yang pernah dilakukan oleh nabi kita?

    Seandainya menteri Agama tidak menutup diri atas masukan dari orang yang memberi kabar telah melihat hilal, tentu tidak perlu terjadi perbedaan jatuhnya hari raya.

    Kalau perlu justru Departemen Agama memfasilitasi proses ru'yatul hilal dengan beragam metode media massa. Misalnya, dengan menempatkan kamera TV yang siaran langsung dari tempat-tempat ru'yatul hilal. Sehingga kalau ada satu orang di satu lokasi mengaku melihat hilal, langsung saja juru kamera mengarahkan kameranya ke arah yang ditunjuk. Dan semua orang satu negara ini akan melihat hilal juga. Apalagi kamera TV bisa melakukan zoom ini dengan kekuatan puluhan atau ratusan kali. Bahkan bisa menggunakan beragam filter yang pasti bisa mendukung terlihatnya hilal.

    Nah, kalau sudah langsung direlai oleh semua stasiun TV secara live dari semua lokasi rukyatul-hilal, tidak ada lagi alasan untuk menolak kesaksian. Dan masalah sudah selesai dengan sendirinya.

    Wallahu a'lam bishshawab, wassaamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

    Ahmad Sarwat, Lc.

    ReplyDelete
  26. hmmm emang rukyatnya salah? jadi ingat dulu di saudi (lupa tahunnya, nanti dicari lagi), udah ditetapkan besok hari lebaran, trus dapet sehari ada pengumuman bahwa penetapannya ada salah. Maka diputuskan untuk mengganti puasanya. FYI, di Saudi pun memakai rukyat. Tahun 2004 saya menunggu 1 jam lebih setelah sholat isya untuk menunggu keputusan pemerintah saudi bahwa besoknya jadi lebaran apa tidak...:-)

    ReplyDelete
  27. Nah Bay, kenapa Saudi jadi patokan? Karena perhitungan kalendar islam adalah memakai Sytem Lunar bukan Solar. Kalo system lunar, logikanya saudi duluan baru di Indonesia (CMIIW). Aku jadi ingat tahun 1997 ketika ramadhan di Saudi. Aku di saudi baru lebaran ehhh di Indonesia sudah lebaran duluan. (Sorry to say, waktu itu juga di Indonesia Lebarannya ganda). Aku sampai mikir, ini orang di Indonesia memakai kalender Masehi kali ya? :-)

    ReplyDelete
  28. gue masih ragu2.. makanya jarang puasa..
    *guling2 di tanah..*

    ReplyDelete
  29. Selamat idul fitri buat bung bayu dan keluarga
    maaf atas segala khilaf yang mungkin pernah ada.

    ReplyDelete
  30. Mestinya kalau satu tempat di muka bumi ini sudah mengalami terbitnya hilal, seluruh tempat yang lain juga sudah terhitung masuk awal bulan. Kalau setiap tempat memakai perhitungan penanggalan masing-masing sebenarnya aneh.

    ReplyDelete
  31. Mel lebaran war =) Iya gw juga liat di TV kalo di Padang sana ada desa yang dah lebaran hari Minggu, tapi mereka start puasanya juga dua hari lebih awal dari yang laen.

    Betul, jangan sampe perbedaan memicu perseteruan.

    ReplyDelete
  32. Memang perbedaan perhitungan ini cenderung membuat pusing... Yang saya amati, masalah utamanya adalah karena berbedanya penafsiran masing-masing pihak yang berkuasa untuk mengambil keputusan.

    Kebetulan baru tau kalau dalam hadist terkait ada tambahan kalimat "kami yang ummi" (buta huruf). Interpretasi Mohamad Joban dalam menafsirkan hadist inipun keliatannya sangat masuk akal; pergunakan tools yang lebih canggih kalau memang tersedia. Kalau jaman dulu berperang pakai kuda plus panah, apa berarti sekarang haram untuk memakai panser dan tank? Kalau jaman dahulu jarak perjalanan minimal untuk boleh tidak berpuasa adalah sekian puluh km, masih samakah kasusnya sekarang untuk perjalanan super-nyaman antar benua hanya dalam hitungan jam?

    Namun menyikapi perbedaan pendapat inipun saya rasa tetep bakalan terjadi perselisihan pendapat, terutama terhadap kalangan yang lebih konservatif dalam menafsirkan ayat-ayat Nya dan sunnah Rasul =)

    Memang MUI seharusnya membuka diri (atau setidaknya wacana) untuk mempertimbangkan pemakaian sistem yang lebih modern untuk penentuan hal ini, after all... Islam menentang kebodohan. Namun satu isyu lain yang perlu diperhatikan untuk penetapan 1 Syawal ini, adalah soal berjama'ah tadi... Jadi walaupun metode MUI ini mungkin sudah dianggap out of date buat sebagian pihak, namun metode yang dipakai adalah metode yang juga benar dan valid... Jadi ketentuan untuk mengikuti ketentuan negara masih tetep berlaku, in my humble opinion =) Jadi ketetapan buat saya pribadi, karena saya pengertiannya baru nyampe sini hehehe... (Kecuali besok lusa dapet pemikiran laen... =D)

    Tapi ah... perbedaan pendapat itu sendiri adalah suatu 'fitrah'nya manusia, dan kalau disalurkan dengan cara yang tepat insyaalloh menjadi barokah karena menambah ilmu, seperti diskusi sekarang ini...

    Jazakumullah,

    ReplyDelete
  33. Iya tul, yang penting YAKIN... dan sekarang udah banyak sekali tools yang bisa dipake untuk mencari informasi dan ilmu yang diperlukan, jadi keyakinannya bisa lebih mantebhh.

    Met Idul Fitri semuanya!

    ReplyDelete
  34. Cak Uding, saya juga masih bingung masalah perbedaan 1 Syawal di Indonesia. Saya pribadi kemaren memang IKUT PEMERINTAH, artinya berlebaran tanggal 24 November. Saya mencoba memantapkan hati dengan menganggap diri saya "bertaqlid buta" dan dari awalnya saya juga mengawali Ramadhan dengan pemerintah. Saat itu saya memang tidak mencari informasi dari internet dan sejenisnya karena sedang berada di lapangan.

    Namun ada beberapa kejanggalan yang lagi-lagi memaksa saya untuk meyakinkan diri kalau tiada dosa bagi orang bertaqlid (ikut-ikutan).
    1. Kalo denger-denger berita, ada PWNU jawa timur atau madura(lupa) yang telah disumpah pengadilan agama dan mengaku melihat hilal minggu sore (22/10). Beliau menelpon PBNU dan ternyata dicuekin. Yang dilakukan rasulullah dahulu adalah menerima kesaksian siapapun yang muslim dan telah bersumpah bahwa ybs melihat hilal.
    2. Kondisi geografi sering dijadikan permasalahan. Dalam lingkup Indonesia, kita cuma punya 3 daerah waktu, selisih waktu maksimal paling cuma 2 jam, katakanlah antara Jayapura dan Medan. Mungkinkah 1 Syawal tiba pada hari yang berbeda? wong kalo di Medan jam 7 pagi, Jayapura jam 9 pagi. Apa mungkin pada saat itu di medan hari senin tapi di jayapura hari selasa? Kalo ada dua 1 syawal PASTI ADA YANG SALAH .
    3. Konteks Indonesia dan Arab Saudi. Coba lihat jam di komputer, Indonesia(Jakarta) : GMT +7, Arab(Jeddah) : GMT +3. Cuma beda 4 jam. Masih ada perbedaan tanggal masuk 1 syawal? Kalo pun ada dua 1 Syawal PASTI ADA YANG SALAH
    4. Imam Syafi'i berijtihad kalau melihat hilal harus dilakukan setiap 24 farsakh (sekitar 120 km), peluang perbedaan bisa terjadi. Imam-imam lain selain Syafi'i berpendapat cukup satu rukyah.
    5. Ahli hisab dan astronomi memang banyak, perhitungannya canggih-canggih. Namun rasul hanya menyuruh kita untuk melakukan rukyat (melihat bulan). Logikanya sederhana, kalo ada yang terbiasa dengan matematika dan modeling, para ahli selalu memverivikasi perhitungan dengan yang sebenarnya terjadi di alam. Misalnya dengan memperhitungkan energi radiasi, tutupan awan, kecepatan angin maka dihitunglah suhu permukaan bumi. Kita anggap aja ini hisab, perhitungan. Namun ahli tersebut juga biasanya mengukur secara langsung dengan termometer berapa besar suhu tanah. Kita anggap ini sebagai rukyah, observasi, atau pengamatan. Hasil perhitungan, bagaimanapun adalah sebuah pendekatan yang harus disandarkan dengan kenyataan sebnarnya atau pengamatan.
    6. Persatuan umat?? mengenai ini bijaksana sekali pendapat ustad Ahmad Sarwat. Kalau saja pemerintah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalah rukyah dan memfasilitasi dengan kamera TV yang canggih, siapa yang bisa menolak kesaksian kamera yang dizoom ke lokasi terlihatnya bulan sabit? Jika ternyata berbeda dengan tanggal yang ditetapkan pemerintah, pemerintah harus legowo dengan kenyataan.

    Ijou desu.. (Sekian)

    ReplyDelete