Monday, May 11, 2015

Anjing liar di Bali - to kill or not to kill

Baru-baru ini di salahsatu grup FB yang saya ikuti beredar satu kabar mengenaskan mengenai terbunuhnya seekor anjing di daerah Pantai Sanur karena secara sengaja diracun oleh manajemen hotel setempat. Rata-rata komentar mengutuk tindakan tersebut, karena dianggap biadab.

Beberapa waktu sebelumnya, di daerah Pantai Kuta pun beredar kabar yang sama: seekor anak anjing dipukuli dan disiksa beramai-ramai oleh warga lokal di pantai tersebut, gara-gara anak anjing tersebut menggigit seorang turis balita. Lagi, aksi inipun dianggap tindak biadab, khususnya oleh para turis yang sedang bersantai di pantai tersebut.

Adapun pihak lainnya yang sering dituduh sebagai biadab juga nggak lain adalah pemerintah daerah (pemda) Bali, karena mereka gemar merazia anjing jalanan untuk disuntik mati, sambil di sisi lain membatasi gerak organisasi penyayang hewan seperti BAWA untuk dapat merehabilitasi anjing-anjing tersebut.

Sewaktu diwawancarai oleh surat kabar setempat, warga lokal yang terlibat insiden Pantai Kuta berujar kalau tindakan anjing liar seperti itu bisa membuat turis takut untuk datang sehingga mengganggu kelancaran bisnis mereka. Bisnis seret, bisa-bisa dapur nggak ngebul.

Sedangkan alasan dari pemerintah Bali untuk meberlakukan aturan razia dan suntik mati, sejauh yang termuat di surat-surat kabar adalah karena dua hal:

  1. Bali saat ini merupakan daerah tertinggi secara nasional untuk kasus rabies
  2. Selama ini pemerintah Bali menjamin pengobatan gratis untuk kasus gigitan anjing, sekaligus biaya untuk vaksinasi rabies para anjing jalanan -- yang ternyata biayanya sangat besar karena tingginya kasus rabies 

Hal lain yang menurut saya berpengaruh, adalah seringnya muncul kabar mengenai warga, baik lokal maupun expat asing, yang luka parah hingga cacat permanen akibat diserang kawanan anjing liar.

Jadi dalam hal ini sebenarnya populasi anjing liar memang betul menimbulkan masalah di Bali, masalahnya ada dan nyata.

Solusinya?

Keberadaan organisasi semisal BAWA cuma mampu meminimalisir jumlah anjing liar, dan kalaupun semua anjing liar di Bali bisa direhabilitasi, apakah mereka bisa diserap seluruhnya oleh para adopter? Jadi bukan solusi yang tuntas juga, apalagi pertumbuhan populasi anjing liar di Bali tidak terkendali. Apalagi mayoritas warga Bali cenderung gemar memelihara anjing, jadi secara umum lebih permisif terhadap populasi anjing liar.

Di sisi lain aksi pemda mengendalikan populasi anjing liar di Bali dengan memusnahkan anjing liar pun dianggap biadab. Jadi solusi yang tepat sepertinya belum ketemu.

Ada yang punya saran? (byms)

Sunday, March 8, 2015

Jadi Panelis di diskusi Peluang dan Tantangan Kuliner Nusantara untuk Masuki Peta Kuliner Dunia



Alhamdulillah banget, minggu lalu dapet kepercayaan untuk jadi salahsatu panelis di diskusinya Kecap Bango Kuliner Nusantara "Peluang dan Tantangan Kuliner Nusantara untuk Masuki Peta Kuliner Dunia,” bertempat di Restoran Oasis, 5 Maret 2015.

Nggak woro-woro banyak karena event nya sendiri terbatas untuk undangan, itupun umumnya dari kalangan media massa. Antara menuliskannya sebagai berikut:

Blogger makanan memiliki peranan penting dalam mempromosikan ragam kuliner Indonesia ke kancah internasional, kata blogger Bayu Amus di Jakarta, Kamis. 

"Dalam Foodie Journey itu ada beberapa tahapan, yaitu discovery, onboarding, exploring dan mastery," kata pria di balik blog Epicurina itu. 

Blogger punya peran penting dalam promosi di dua langkah awal, ujar dia. Bayu memaparkan, discovery adalah tahapan saat seseorang mengetahui keberadaan makanan Indonesia.

Di langkah Discovery, food blogger memiliki peran krusial dalam mempromosikan makanan melalui media online.

Selain blog, promosi online juga dapat dilakukan lewat situs berita, YouTube dan media sosial. Promosi offline juga dapat dilakukan lewat mulut ke mulut dan acara seperti jamuan di kedutaan besar. 

Selanjutnya, di tahap Onboarding para pecinta kuliner di luar negeri akan memuaskan rasa penasarannya dengan mencoba langsung makanan Indonesia. 

Menurut Bayu, yang dibutuhkan adalah keberadaan restoran Indonesia di luar negeri. Di tahap ini, tempat makan di kategori makanan kaki lima (street food) juga bisa memuaskan keingintahuan pencinta kuliner. 

"Sayangnya tidak banyak restoran Indonesia di luar negeri," ujar dia. Bila sudah mencicipi langsung, para pencinta kuliner akan menuju tahap selanjutnya yaitu Exploring, mendapatkan wawasan lebih luas tentang makanan Indonesia. 

"Butuh restoran yang lebih sophisticated," ujar dia. Terakhir, mastery adalah tahap seseorang tergerak untuk membagikan pengalamannya kepada orang lain. "Langkah kita masih panjang," imbuh dia.