Tuesday, May 26, 2009

Ulama vs Ilmuwan

Apa yang terbayang dalam benak kita kalau mendengar kata "ulama"? Pria berjanggut panjang dengan sorban melilit, celak, dan berpakaian gaun putih? Ataukah mereka yang mengenakan jaslab putih, protective goggle, sarung tangan dan sibuk di laboratorium?

Dalam kosakata bahasa Arab, kata "ulama" sebenarnya merupakan bentuk jamak dari kata "alim", yang berarti "yang tahu" atau "memiliki pengetahuan". Sedangkan menurut terminologi Islam, maka dalam Al-Qur'an terdapat dua ayat yang memuat kata "ulama" yang cukup membantu menjelaskan arti dari istilah ini, pertama dalam surah asy-Syu'ara' [26]: 197, dan kedua dalam surat Fathir [35]: 28.

Dalam ayat pertama, Allah berfirman yang artinya "Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”. Para ahli tafsir berpendapat, "ulama" dalam ayat ini memiliki arti...

"mereka yang memahami ayat-ayat Allah SWT yang tertulis atau al-Kitab".

Dalam ayat kedua, Allah berfirman yang artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”. Dalam konteks ayat ini "ulama" merujuk kepada...

"mereka yang memahami ayat-ayat Allah SWT yang tidak tertulis, alias tanda-tanda kekuasaannya yang tersebar di alam semesta"

Sebagaimana tersurat juga dalam surah Ali Imran [3]:190,  “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (ulil-albab).

Kita mengenal "ulama" jenis kedua ini sebagai "ilmuwan".

Kebenaran pengistilahan ini, ditunjang pula dengan kebiasaan yang terjadi di jaman Rasulullah SAW. Pada masa itu, mereka yang disebut "ulama" secara umum adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dalam hal agama, atau ilmu alam, atau ilmu politik (atau semuanya sekaligus). Mereka ini berkumpul dalam suatu majelis, dan seringkali dimintai pendapatnya untuk perkara-perkara penting.

Sedangkan jauh setelah masa pemerintahan beliau berakhir, sekitar masa dinasti Umayyah, definisi "ulama" sendiri kemudian dijabarkan lebih luas lagi, tapi secara umum dibagi menjadi dua kelompok:
  1. Ahli Agama
  2. Ahli Ilmu Pengetahuan
Di Indonesia dan dunia Islam kontemporer, definisi untuk "ulama" adalah lebih condong kepada yang pertama. Bahkan seiring waktu, dengan semakin suksesnya modernisme membawa sekularisme*, definisi istilah ini malah kemudian menyempit lagi menjadi "para ahli agama dalam hal Fikih" (Fikih = fiqh = pengamalan Agama), atau lebih sempit lagi "para ahli Fiqih dalam hal ibadah", sehingga konotasinya seorang ulama adalah seorang ahli ibadah. Mentok.

[*secularism = A doctrine that rejects religion and religious considerations]

Awamnya masyarakat, dan semakin lebarnya terpisahnya Islam dari kehidupan sehari-hari, seringkali mendukung pengkerdilan istilah "ulama" ini dengan meyakini bahwa untuk mendapatkan Islam adalah cukup dengan mendalami fikih, atau bahkan hanya dengan mendalami ibadah. Hal ini tak lepas karena dari seringnya contoh yang mereka lihat, sebagai pemuka Agama, para "ulama", cenderung hanya mengerti mengenai masalah ibadah. Jadilah gambaran Islam ideal dalam pikiran kita, tak pernah bisa lepas dari kata-kata "ustadz", "kyai", dan "syech"; berdakwah di mimbar, berpakaian gaun dan bersorban, ke-arab-araban. Mentok

Sedangkan fragmen-fragmen lainnya dari Islam, termasuk habluminannas (hubungan dengan sesama manusia), dan anjuran untuk meneliti alam (menjadi ilmuwan), kurang disentuh. Padahal spektrum pengamalan Islam itu luas, tidak terbatas pada ibadah wajib saja, apalagi sekedar memakai sorban dan jubah saja.

Mungkin inilah salahsatu penyebab menurunnya gebrakan ilmiah dari dunia Islam... karena seyogyanya posisi ulama yang didudukkan tinggi dalam Islam, pada masa kini sudah tidak menyertakan lagi para ilmuwan... Sehingga kaum muslim ramai berbondong-bondong mengejar Islam dengan (hanya) mengedepankan ibadah, ritual, sambil menganggap ilmu keduniaan tidak mendapatkan tempat barang sedikitpun dalam Islam.

Padahal seperti disiratkan dalam surah Fathir [35] : 28 tersebut, "... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama...", (ulama dalam arti ilmuwan), maka sebenarnya apresiasi menyeluruh atas keagungan Alloh SWT hanyalah bisa diraih... kalau kita mau meneliti alam dan ciptaanNya...

...hanya kalau kita mau menjadi... "ilmuwan".
Mari kita sempurnakan iman, dengan memperbaiki kualitas ilmuwan yang ada dalam diri kita. Mari kita raih Islam, melalui kualitas keilmuan dalam diri kita. (bay)

Bahan bacaan:
+ http://www.kampusislam.com/cetak.php?id=542
+ http://syofyanhadi.blogspot.com/2008/06/siapakah-ulama-menurut-al-quran.html
+ http://linkgar.wordpress.com/2007/03/05/definisi-fiqih/
+ http://mujtabahamdi.blogspot.com/2005/09/ulama.html