Sunday, June 25, 2006

Cerpen Legenda: Tamu Jangkung di Balong


Ti'ah dalam usianya yang masih balita duduk dengan tenang dipundak Abah*, sambil pandangannya menerawang kearah "balong gede". Dalam usianya itu, belumlah ia bisa mengerti betul perbedaan antara "balong", kolam ikan yang biasa didapati di kampung-kampung, dengan badan air maha luas yang orang sebut sebagai "laut".

[*Abah: Panggilan lain untuk "bapak" dalam Bahasa Sunda]

Ti'ah dan abah saat itu sedang berada di pesisir pantai Pameungpeuk. Bersama beberapa orang pengangkut barang, mereka hampir mencapai tujuan akhir setelah jauh berjalan dari Garut. Di kisaran tahun 1916 itu, jalan setapak yang mereka lalui bisa menghemat perjalanan hingga satu-dua hari, dibanding jika harus mempergunakan jalan memutar biarpun sambil menumpang pedati.

Tak lama kemudian Ti'ah melihat sesuatu yang menarik perhatiannya diarah laut, dan pupil matanya pun membesar.

Ia lalu menepuk lengan abah yang sedang memeganginya dan berbicara dekat pada telinga abah... "Abah, itu saha di balong?" (Bapak, itu siapa di kolam?)

Abah menengok kearah telunjuk tangan Ti'ah yang mengarah ketengah laut, dan ia pun terhenyak kaget...

Sambil membaca istighfar, ia pun menginstruksikan pada Ti'ah untuk diam, serta menginstruksikan rombongan untuk untuk tidak berbincang-bincang lagi dan berjalan lebih cepat... keringat dingin terasa keluar dari pundak abah...

Dan walau tidak begitu mengerti mengapa ia harus diam, Ti'ah duduk dengan tenang sambil terus memandangi sang "tamu" di balong... sesosok tubuh hitam legam dengan rambut kribo yang melebar seperti "ayakan" (tampi beras) di lepas laut sana...

Sosok yang terlihat berdiri agak jauh dari batas pantai, terendam air laut hingga ke batas pinggang, dengan badan yang menjulang tinggi dari permukaan laut. Sosok misterius ini terlihat berulang kali membungkuk kearah ombak yang datang...

Segera setelah mereka meninggalkan daerah pantai tersebut dan masuk ke daerah hutan, abah pun bisa bernapas lega... lalu di desa tujuan mereka, mereka mengadakan acara syukuran atas keselamatan mereka. Saat itulah Ti'ah bisa mendapat penjelasan yang cukup memuaskan... abah bilang kalau mereka saat itu sangat beruntung, karena angin sedang mengarah dari laut kedarat dan bukan sebaliknya... jikalau tidak, entah apa yang akan terjadi seandainya raksasa itu mencium bau mereka.

foto dari: http://www.stevequayle.com/Giants/charts/charts.html

further reading:
+ http://www.mysteriousworld.com/Journal/2003/Summer/Giants/
+ http://ourworld.compuserve.com/homepages/dp5/ape2.htm
+ http://media.mnginteractive.com/media/paper36/0105bigfootgraf.gif
+ http://www.mtblanco.com/html/tour.html

Saturday, June 24, 2006

Cerpen Legenda: Abah Express


Emak mengeluh pada Abah, yang siang itu baru pulang dari mengerjakan suatu urusan di kantor Kepala Desa Singajaya, Garut. Katanya, laki-laki itu harus sigap untuk menyediakan lauk bagi makan, apalagi waktu itu nasi telah hampir matang dan waktu hampir beranjak ke tengah hari. Suasana memang sedang agak genting dengan beredarnya kabar bahwa "Gorombolan" (Pemberontak DI/TII di daerah Garut) mulai beraksi menyerang kampung seberang. Tapi yang namanya dapur, tidak ada alasan untuk tidak ngebul.

Abah yang tidak banyak cakap lalu mengajak ponakannya yang masih kecil, Asep untuk berjalan-jalan. Beberapa jauh dari rumah mereka, Abah bilang kepada Asep kalau mereka akan menempuh perjalanan jauh, namun ada beberapa persyaratan yang harus Asep penuhi atau mereka akan celaka. Diantara peraturan tersebut ialah Asep dilarang membuka mata dan bercakap-cakap selama perjalanan mereka nanti.

Sambil menyeka ingus dari hidungnya, Asep kecil pun menganggukkan kepala tanda setuju, dan Abah pun memangku Asep di pundaknya. Asep bingung, kemanakah mereka akan bepergian? Naek oplet ke Garut? Jalan kaki ke kampung seberang sungai? Tapi kenapa koq Abah wanti-wanti seperti itu?

Segera setelah mereka yakin tidak ada orang disekitar, Abahpun memberi isyarat. Asep lantas menutup mata dan Abah pun berjalan cepat sambil terasa agak melayang-layang... atau begitulah kurang-lebih yang Asep rasakan dari posisi duduknya di pundak Abah.

Beberapa saat kemudian Abah memperbolehkan Asep untuk membuka mata, dan mereka pun meneruskan jalan kaki ke pasar ikan yang terlihat di kejauhan... udara terasa lebih panas dari biasanya, juga lingkungannya terlihat tidak familiar. Pasar yang Asep saksikan sepertinya bukanlah pasar di Garut, apalagi di Singajaya, kampung tempat mereka tinggal.Tapi yah sudahlah, mungkin ada pasar dadakan disekitar kampung, yang penting percaya saja sama kolot (orang tua) pikirnya...

Setelah selesai berbelanja, mereka lalu menempuh perjalanan yang sama dan Asep pun kembali diminta untuk mematuhi apa yang telah Abah perintahkan tadi untuk perjalanan mereka.

Beberapa saat kemudian Asep merasa Abah mulai berjalan seperti biasa, dan iapun diperbolehkan untuk membuka mata. Ternyata mereka telah kembali berada di jalanan desa dekat hutan tempat mereka tadi berangkat, dan udara kembali terasa sejuk... Sewaktu bertemu Emak, Abah pun menyerahkan ikan yang mereka beli di pasar tadi, sambil berujar dengan bangga; "tah dengeun na, ti Cirebon" (nih lauknya, dari Cirebon).(bay)

foto dari: http://www.ethereal3d.com/

Cerpen Legenda: Hari Terlarang di Pameungpeuk


Suasana laut hari itu memang aneh... laut ditepi pantai ini terlihat tenang dan aman untuk melaut mencari ikan, namun ombak kecil datang saling silih silang beradu di pantai, dan mereka terlihat seperti memiliki sirip-sirip kecil, bukan pemandangan yang biasa Apa* temui manakala ia berangkat memancing di laut ini, di tempat dinasnya yang baru di Pameungpeuk. Dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno ini, ia telah dialihtugaskan beberapa kali untuk mengawasi perkebunan, namun untungnya semua masih di daerah Garut Selatan, dekat dengan kota tempat ia berasal.

[*Apa (bapa) : panggilan akrab kepada ayah, dalam bahasa Sunda]

Tanpa peduli dengan kenyataan bahwa hari itu tidak ada nelayan yang melaut, Apa dan ajudannya pun berangkat kelaut dengan perahu kecil yang mereka dayung berdua...

Setelah lama memancing tanpa hasil sedikitpun, mereka lalu beranjak untuk kembali ke pantai karena laut pun tidak beranjak ramah... Disimpulkanlah, hari itu memang hari yang buruk untuk memancing...

Ketika perahu telah mendekati pantai dan tinggal beberapa kayuh lagi untuk mendarat, Apa mendapat perasaan aneh seperti ada yang mengawasinya, dan dengan penasaran ia pun menengok ke sekitar perahu untuk mengecek...

Apa yang ia lihat muncul dari laut didekat bagian belakang perahunya lantas membuat mukanya pucat dan secara refleks ia pun meloncat dari perahu ke air laut selutut dan berlari kearah pantai...

Berlari kencang melewati sepeda yang tadi membawanya ke pantai ini, melewati hutan yang tadi mereka lalui dalam perjalanan ke pantai, dan baru berhenti setelah bertemu dengan rumah penduduk terdekat...

Sambil terengah-engah dan lututnya masih gemetaran, Apa menenangkan diri... namun setelah sadar kalau ajudannya masih tertinggal di pantai ia pun dengan khawatir beranjak kembali kearah pantai... Ditengah perjalanan menuju pantai, ia mendapati ajudannya sedang terduduk di dekat pepohonan sambil terlihat gemetaran dan berusaha untuk menenangkan diri... Sang ajudan sayangnya (untungnya?) tidak melihat apa yang Apa lihat, karena terlalu tegang untuk membalikkan badan setelah melihat Apa terbirit-birit melompat keluar dari perahu... ia juga sebenarnya memiliki perasaan sama seperti Apa; seperti ada yang mengawasi...

Setelah mengecek situasi dan kondisi dari ajudannya, mereka berdua lalu menenangkan diri sejenak sebelum kembali ke desa...

Di desa, ketika orang-orang diceritakan mengenai pengalaman yang baru dialami, ternyata mereka tidaklah terlihat terlalu terkejut... karena menurut penanggalan mereka, hari itu ialah hari larangan untuk turun melaut, makanya tidak ada satu pun kapal nelayan yang pergi dari pelabuhan... Apa yang masih terhitung penduduk baru, tentu saja tidak mengetahui hal ini.

Apa tersenyum kecut... sambil dalam pikirannya terus terbayang-bayang mengenai bayangan hitam sebesar batang pohon kelapa yang mencuat dari laut beberapa meter di belakang perahu mereka tadi, dengan sepasang mata yang menatap dingin dipuncaknya... (bay)

foto dari http://www.wilsonsalmanac.com