Monday, November 29, 2004

Lawry's Jakarta - food review

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Steak
Location:Plasa Senayan, sebelah bioskop.
Dipenghujung bulan Ramadhan kemaren, mendadak pak Sjarif ngajak kita Writerighters buat ketemuan di Lawry's, PS. Awalnya otak saya ngebayangin Creme Brulee, karena yang tergambar adalah "Bistro", tempat kami biasa ketemu di PS.

Setelah duduk tenang dan mikir ulang, barulah kening saya berkerut. Selidik punya selidik, tempat ini ternyata masuk kelas tempat mahal banget, bahkan diatas Tony Roma's (makanya gak pernah masuk agenda pribadi sebagai tempat makan buat dijajal). Setelah survey sana-sini ketauan kalau menu disini yang worthed cuma Prime Ribs nya, dan yang ngebedainnya adalah cut nya, yang sekaligus nentuin berat dari steak yang terhidang.

Di hari-H nya, ternyata ketauan kalau Lawry's selama bulan Ramadhan itu punya paket Ramadhan special seharga 150K/pax. Dalam menu ini sudah termasuk 125 gr US Prime Ribs, pilihan Onion Soup atau Salad, satu macem side-dish, mashed potato / french fries, Yorkshire Pudding, dan Whipped Cream Horseradish atau parutan Horseradish segar. Untuk minuman disediakan juga gratis teh manis.

Gaya tempatnya kolonial banget, dengan nuansa antik dan elegant. Lawry's PS merupakan satu-satunya cabang Lawry's di Indonesia karena peraturan Lawry's Internasional menyatakan cuma boleh ada satu cabang Lawry's di satu negara. Disini terdapat juga Private Room dengan kapasitas 10 - 20 orang.

Onion Soup nya berasa mirip kuah semur... tapi ini ga berarti buruk, cuma saja kebetulan kita punya makanan yang mirip. Sementara saladnya diberi dressing yang luar biasa asem sehingga saya bersyukur sekali milih soup instead of salad.

Yang unik dari Lawry's adalah kereta dorong ribs nya yang terbuat dari stainless steel dengan gaya yang mengingatkan kita pada film "Metropolis" dari era baheula. Didalam kereta yang sekaligus merupakan tempat memasak ribs ini, berdiri rangkaian ribs yang megah (dan mahal) untuk kemudian dipotong oleh Carver sesuai potongan yang kita pesan.

Demi pengalaman, saya mesen yang dimasak medium-rare demi ngapresiasi rasa daging yang sulit ditemui di tempat lain ini. Akibatnya, sekeping besar daging yang hadir di meja saya masih memiliki warna merah muda segar dan agak-agak berdarah. Namun karena memang rasa dagingnya enak, nggak ada masalah dalam menghabiskan hidangan yang rada gory ini. Temen saya yang kemudian nyoba nganggap punya saya lebih enak dibandingin punya dia yang medium done.

Sebagai side-dish saya milih "Creamed Spinach" yang tak lain adalah sayur Bayam cacah dicampur krim, dan rasanya cukup enak. Yorkshire Pudding, bukanlah sembarang pudding. Makanan ini bukan dessert tapi termasuk side-dish berkarbohidrat tinggi. Teksturnya mirip "Telur Kembung" dalam masakan Padang, dengan rasa yang tidak terlalu gurih dan lebih ke roti-rotian.

Hal unik lainnya ialah tersedianya "Whipped Cream Horseradish" yang merupakan versi ringan dari "Wasabi"nya makanan Jepang. Diluar dugaan ternyata rib steak dan krim tersebut berpadu rasa dengan baik.

Dari segi kualitas, it's really good. Tapi dari segi harga... keliatannya bukan konsumsi kuli web macem saya ni'... apalagi kalau sambil makan saya kerajinan ngitung berapa "Paket D" nya "Hoka-Hoka Bento", atau berapa porsi Pecel Lele bisa saya dapet buat sekali makan disana... He he he

MQ Cafe Bandung - food review

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: International
Location:Citarum, Bandung
Siang itu sehabis mengakses internet di Warnet Starnet di Jl. Jakarta, saya dan Ade agak kebingungan memilih tempat makan. Ada keinginan untuk mencari tahu apa "Ahimsa" masih beroperasi, namun ada keinginan juga untuk memperkenalkan Ade pada makanan jalanan yang merupakan daya tarik utama dari wisata kuliner di Bandung. Mengingat lokasi dan sarana transport, maka pilihan yang saya rasa tepat waktu itu ialah untuk menuju daerah Citarum, tepatnya disekitar Masjid Istiqamah. Di daerah ini terdapat beragam tenda kakilima dengan rasa dan harga yang cukup menjanjikan untuk dijajal tanpa menguras kantong.

Kamipun lalu menuju Istiqamah dan terjebak macet didepan FO "Summit" dan "Heritage". Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan becak, diiringi hujan gerimis yang turun semakin lebat. Karena pertimbangan cuaca inilah maka kunjungan ke Istiqamah batal dan kami memutuskan untuk mampir di salahsatu tempat baru di daerah ini: "MQ Café".

Café yang terlihat jelas memiliki keterkaitan dengan “Manajemen Qolbu”nya Aa Gym ini telah buka selama beberapa waktu, dan dulu sempat mengandalkan hidangan buffet nya yang murmer. Untung saja halaman parkirnya dinaungi tenda, sehingga sewaktu kami turun dari becak kami nggak kehujanan. Di salah satu sisi halaman parkir ini kini terdapat satu bangunan kecil yang menjual roti, masih satu grup dengan "MQ Café".

Kedatangan kami disambut ramah oleh pramusaji yang berpakaian muslim, lalu kami diantar menuju ruang makan. Di bagian muka terdapat meja untuk menu buffet yang menyajikan lauk Ayam Kecap, Kakap Asam Manis, Tahu bumbu Rujak, Sup Baso, serta aneka penganan dan minuman, yang dibandrol seharga 22.5K, makan sepuasnya.

Di dekat kasir terdapat satu sudut berisi tempat duduk dan rak-rak yang memuat beragam merchandize keluaran MQ mengenai Islam. Di ruangan kanan terdapat beberapa meja dan kursi makan, di bagian tengah ada tangga menuju lantai atas, dan di belakang tangga terdapat area luas dengan kapasitas sekitar 60 orang dan suasana yang cukup nyaman, disinilah kami memilih untuk duduk. Dekorasi ruangan bernuansa agak ke Mesir2an, terutama dari nuansa warna krem dan dipajangnya vas-vas tembikar dengan warna serupa di salahsatu sisi ruangan. Di dinding-dinding lain bertebaran pula beragam poster, umumnya berupa kata-kata mutiara bernuansa Islami, selain itu terdapat pula beberapa foto keluarga Aa Gym.

Menu yang tersaji berasal dari beragam jenis makanan; Indonesia, Eropa, Jepang, dan Arabic. Dari jenis makanan Indonesia, ada Sop Buntut Panggang, Sop Buntut Goreng, Nasi Goreng, Ayam Goreng, Ayam Bakar Sate Kambing. Dari golongan menu grills (17-25K) terdapat pilihan Tenderloin, Chicken, dan Steak Kombinasi, Oriental Sirloin, dan Beef Teriyaki. Menu pasta ada dua macam; Spaghetti dan Fettucini (15K). Terdapat juga beberapa menu andalan MQ Café Citarum (dibawah 20K), diantaranya: Fish & Chips, Beef Teriyaki dan Ayam Keju Citarum. Sedangkan dari jenis makanan Arabic (sekitar 20K+), terdapat Beef Shonulaki, Chicken Skewer, Lamb Kopta, dan Chiken Kabsa. Terdapat beragam minuman, diantaranya dari MQ cup, Teh Botol (3.5K), Juice Jeruk Nata de Coco (8K), Cappucino(12K), Aneka Juice (antara 6-11K), Yoghurt, dan aneka Pudding (10K).

Menilik komposisi menu, saya tertarik untuk mencoba hidangan Arabic, dan setelah memilih-milih, akhirnya saya memesan Lamb Kopta, sementara Ade memesan Ayam Keju Citarum.

Lamb Kopta adalah “panggang daging kambing giling diatas nasi kebuli, salad, dengan garlic mayonaise”. Hidangan ini hadir dalam piring lebar dengan dua tusuk sate buntil kambing diatas hamparan nasi kebuli dan salad di bagian tengahnya. Nasi kebulinya memuat juga butiran kacang tanah, yang memberikan nuansa rasa manis. Rasa Nasi Kebulinya sendiri cenderung terasa “sopan”, aman bagi masyarakat awam yang kurang familiar dengan spicy nya nasi kebuli, namun kurang nendang buat selera food hunter. Garlic mayonaisenya enak karena memuat rasa bawang putih yang cukup kuat tanpa jadi menyengat. Sate buntilnya sendiri, enak! Rasa domba nya tidak terlalu keras namun masih tetap memberikan karakter rasa yang khas.

Ayam Keju Citarum kiranya merupakan versi lokal dari Chicken Cordon Bleu; fillet daging ayam bagian dada bersalut tepung panir dengan filling keju cair, minus irisan ham. Hidangan ini hadir dengan saus bbq, dan mayonaise biasa. Daging ayamnya sendiri cukup tebal, rasanya juga cukup oke walau tidak luar biasa. Ade juga merasa kejunya kurang banyak sehingga kurang terasa, terutama jika dibandingkan dengan CCB favorit nya di "Every Day", Jakarta.

Menilik penampilannya, agaknya banyak terdapat bahan makanan hasil produksi sendiri, misalnya saus botolan yang ada di meja kami, dan mayonaise yang dipakai. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat MQ sendiri memiliki jaringan usaha yang luas, termasuk barang konsumsi umum.

Suasana cukup netral, dalam artian tidak ada muatan Islami yang terlalu kental dalam desain interiornya, kecuali poster-poster kata mutiara dan pramusaji yang berpakaian muslim. Hidangan yang tersedia beragam, harga-harga cukup murah dan standar dibandingkan café-café lain di Bandung, kualitas dan rasa cukup baik, pelayanan profesional dan ramah, dan terdapat musholla yang nyaman dan apik untuk pengunjung yang hendak sholat.

Pembayaran bisa dengan Visa/Master Card (minimal 100K). MQ Café juga termasuk dalam salahsatu vendor yang berpartisipasi dalam program-program promosi makan dari kartu kredit Citibank (misalnya buy 3 get 1 free, etc.).

Friday, November 26, 2004

RM 100 MP3 Player - gadget review

Rating:★★★
Category:Computers & Electronics
Product Type: Other
Manufacturer:  Epraizer
Produk ini terpilih setelah survey setengah harian di Glodok Plaza, Harco, Jakarta. Diantara beberapa model yang mengena dihati, produk inilah yang memiliki feature cukup lengkap dibandingkan dengan harga yang ditawarkan.

Beberapa produk yang saya taksir juga ternyata memiliki beberapa kelemahan antara lain, terutama mengenai kapasitas memori yang tidak dapat ditambah, dan harga yang tidak sesuai.

Epraizer RM 100 ini berfungsi sebagai:

1. USB Disk dengan kapasitas internal 128 MB

Terdapat juga model dengan kapasitas internal 256MB. Selain dari memori internal, model ini memiliki kemampuan untuk ditingkatkan memorinya melalui pemakaian SD Memory Card (kapasitas mulai 128 Mb hingga 1GB !).

2. MP3 Player

Hasil output suaranya cukup baik, dengan lima macam mode equalizer.

3. FM Tuner

Terdapat 20 channel radio yang bisa disave, dengan fungsi auto-search dan manual search.

4. Digital Voice Recorder

Suara bisa direkam melalui built-in microphone, atau melalui line-in yang bisa dihubungkan dengan perangkat elektronik lain, misalnya CD Player, atau (mungkin) external microphone. Selain dari suara external, alat ini bisa juga merekam siaran radio FM, plus mengkonversi suara-suara yang direkam tersebut (mic, line-in, radio), kedalam format MP3! Hal ini memungkinkan alat ini mampu berfungsi sebagai konvertor MP3, dan mampu merekam suara hingga delapan jam untuk kualitas suara rendah (dua-tiga jam untuk kualitas suara baik), berguna untuk wawancara atau merekam ide yang tiba-tiba nongol.

Volume suara terbagi dalam beberapa step, dengan full volume yang cukup kuat untuk membuat kuping budek permanen. Sementara itu, step-step rendah agak useless, karena suara yang terdengar sangat lemah, dan mungkin hanya berguna untuk menina-bobo kan pendengar pada kondisi kamar yang amat-sangat tenang.

Earphone yang disediakan merupakan tipe yang tergabung dengan gantungan leher (dikalungkan), kualitas suaranya baik, dengan range frekuensi bagus (suara tinggi terdengar jelas, suara bass cukup kuat), walau isolasi noise kurang baik (suara sekitar kurang bisa dibendung, sehingga suara bass mudah tenggelam di lingkungan ramai). Sayangnya juga, tali gantungan terlalu pendek, sehingga agak sulit untuk menyembunyikan produk ini dalam saku baju, tali juga menimbulkan iritasi jika dipakai pada leher langsung, dan seringkali tali yang pendek menghambat gerak kepala jika kabel tersangkut kerah baju. Hal lain yang juga disayangkan, somehow posisi left-right earphone sepertinya tertukar, namun hal ini tidak berpengaruh besar pada kenyamanan.

Satu baterai AAA tipe generik bisa bertahan untuk merekam ke MP3 selama tiga-empat jam, sementara untuk playback menurut keterangan, bisa hingga duabelas jam (walau belum dites, dan agaknya mengacu pada baterai high power/alkaline).

Berdasarkan perbandingan sekilas dengan merk dan tipe lain, produk ini memiliki kualitas suara yang baik, kemampuan merekam suara yang cukup peka, dengan earphone yang cukup baik pula, walaupun bukan yang terbaik dipasaran. Dari segi harga, produk ini lebih mahal sekitar 200K dari produk sejenis tanpa kemampuan untuk penambahan memori.

Harga terendah yang saya dapatkan ialah 670K untuk seri 128MB, sementara di BEC Bandung dijual dengan harga sekitar 730K.

Atmosphere Bandung - food review

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: International
Location:Lengkong, Bandung
Kali pertama kunjungan saya ke tempat ini ialah beberapa tahun lalu. Dulu untuk mencari tempat pun susah, disana-sini penuh. Kunjungan pertama ini berhasil menyimpulkan bahwa tempat ini memang asik nuansanya, namun makanannya so-so. Beberapa menu lokal yang teman-teman saya coba rata-rata dinilai gagal, entah dari segi correctness, maupun dari segi kenikmatan. Tapi satu hal juga yang saya catat waktu itu, harga-harganya cukup reasonable.

Malam itu di Bandung saya sempat tanya-tanya sama rekan food hunter saya Adi, dan beberapa rekan untuk rekomendasi tempat makan malam di Bandung. Namun karena rata-rata tempat yang disarankan berada jauh dan sulit untuk ditempuh dengan angkutan umum, maka saya memutuskan untuk menjamu “tamu-tamu” saya ke tempat ini sekalian untuk revisit, barangkali sudah ada perubahan significant sejak kunjungan pertama saya dua tahun lalu.

Diiringi hujan gerimis yang tak hentinya mengguyur Bandung semenjak sore hari, saya lalu mengajak dua tamu saya; Ade, dan adik saya Dea untuk menuju lokasi Atmosphere di Jl. Lengkong. Kebetulan juga adik saya ini walaupun adalah penduduk asli Bandung namun belum pernah menginjakkan kakinya di tempat yang sempat ngetop (for good and bad) ini.

Malam itu suasana lengang, hanya sedikit saja mobil diparkir di halaman, menunjukkan jumlah pengunjung yang masih sedikit. Hal ini terjadi agaknya karena suasana libur Lebaran masih berpengaruh, dan orang-orang masih malas untuk keluar rumah setelah mudik, apalagi ini adalah malam pertama dihari mereka kembali masuk kerja.

Dari segi suasana terlihat belum ada perubahan, kecuali adanya patung pria berpakaian arab yang agaknya dipajang disana untuk mengentalkan nuansa Idul Fitri, walaupun sebenarnya malah terlihat janggal, karena hari raya Lebaran ini bukanlah mengenai Arab, atau mengenai padang pasir.

Sementara dua tamu saya masih celingukan dan terkagum-kagum, saya langsung menuju halaman belakang bangunan, dimana terdapat saung-saung lesehan diatas kolam, untuk makan sambil duduk bersila atau selonjoran.

Pernah ada selentingan buruk mengenai tempat ini dan saungnya, saat seorang pengunjung yang tidak puas menulis di harian Pikiran Rakyat karena merasa Atmosphere pilih kasih dengan membatasi penggunaan saung hanya untuk pengunjung dengan jumlah besar saja. Namun malam itu agaknya aturan itu sedang tidak berlaku, karena kami bertiga diperkenankan untuk memakai satu saung besar berkapasitas delapan – duabelas orang.

Dalam kunjungan kedua ini baru ketahuan kalau ternyata menu andalannya adalah steaks, dengan menu favorit yaitu Beef Steak Washington. Dari beragam pilihan yang ada, kita memilih tiga macam steak; Beef Steak Washington (32.5K), Entreconte Mont Blanc (35K), dan American Mixed Grills (37.5K). Masing-masing steak berbeda dari jenis saus yang dipakai; BSW memakai saus jamur, EMB memakai saus yang rasanya cenderung mirip bumbu sate, sementara AMG dengan saus BBQ yang asam manis. Untuk appetizernya kita nyoba Fried Calamary (14.5K), dan Seafood Chowder (7.5K). Sedangkan untuk dessertnya Ade penasaran ama Tiramisu (14K), dan saya penasaran pengen bandingin Creme Brulee nya (13K), sama punyanya Bistro PS. Dari tiga pilihan rasa, kita milih yang rasa Espresso.

Ade dan Dea memilih steaknya untuk dimasak well-done, walau telah saya wanti-wanti berulang kali untuk memilih paling tidak medium-well untuk bisa mengapresiasi “true taste” dari daging steak nya. Saya sendiri memilih steak saya untuk dimasak medium, tidak medium-rare, karena khawatir sama kualitas daging yang dipakai, apalagi kami semua memilih variant daging lokal. Mengenai pilihan saya, sebenarnya saya nggak terlalu suka saus BBQ, namun karena terdapat empat macam daging dalam menu ini (beef, lamb, chicken, sausage), maka saya nggak keberatan buat sedikit berkorban.
Sambil menunggu pesanan datang, kami tiduran dengan nyaman di lantai kayu yang luas itu, sambil ditemani udara Bandung yang dingin. Di bagian sisi saung ternyata terdapat penahan kayu untuk mencegah bantal terjun bebas ke kolam, jadi jangan khawatir untuk bersandar. Minuman pesanan kami lalu datang tak lama kemudian. Mungkin karena malam itu pengunjung sedang sedikit maka suasananya tenang dan pelayanannya lebih memuaskan?

Setelah lewat beberapa seruput teh Twinnings dalam tiga variasi (Peppermint, Earl Grey, dan English Breakfast), pramusaji lalu hadir membawa makanan pembuka.

Calamary hadir dengan saus tartar yang gurih creamy, dengan porsi yang agak ngirit (7 pieces), sedangkan Seafood Chowder nya hadir dalam porsi standar, kurang lebih sebesar porsi sup nya Pizza Hut. Dari segi rasa, Seafood Chowder ini mengingatkan pada masa silam di Bandung saat Gelael Dago masih menyajikan krim sup dan hot dog berkualitas tinggi, rasanya mirip. Ade yang agak spesifik dalam hal selera makan kelihatannya tidak bermasalah dengan sup ini, berbeda dengan saat dia mencoba Shrimp Bisque nya Ya Udah yang cenderung masuk kategori Hard Core.

Saat sendok dan tangan masih sibuk berseliweran kesana kemari, makanan utamanya datang. Ketiga steak nya tampil cukup menarik, Ade mengganti mashed potato dari BSW nya dengan french fries, biar kompak dengan EMB nya Dea. Saya sendiri ngebiarin AMGnya hadir dengan Potato Wedges, goreng kentang bersalut tepung gurih. Porsi steak nya cukup besar, nggak tau berapa gram, namun mengenyangkan untuk kapasitas perut normal. Daging yang dipakai kualitasnya cukup baik, dimasak dengan cukup benar, saus-saus nya juga cukup memuaskan, full-bodied dan cukup rich.

Ketika tiba waktunya untuk dessert, Tiramisu hadir dalam porsi sedang-kecil, begitu juga dengan Crème Brulee nya. Tiramisu nya terasa kurang nendang, lebih mirip coffee cake karena kurang creamy, sedangkan Crème Brulee nya cukup enak, walau hidangan yang menurut saya masih sekeluarga dengan Sarikaya ini masih kalah kualitas dengan punyanya Bistro PS.

Kelihatannya kunjungan kedua ini berbuah baik, karena saya jadi berpandangan lain terhadap tempat ini. Suasana masih tetap menjadi daya tarik utama, namun didukung juga dengan makanan berkualitas cukup baik dan enjoyable, dengan harga yang cukup murah. Walaupun pramusaji kami lupa untuk mengulang pesanan kami diakhir pemesanan, servis secara keseluruhan terasa lebih responsive, semoga saja bukan semata-mata karena sedang sepi pengunjung...

Saya nggak tahu apa Chef nya sudah ganti dan lebih skillful dalam mengolah makanan lokal, namun mengingat pengalaman terdahulu yang gagal total dari segi rasa, maka saya masih nggak berani buat mesan menu hidangan lokal disini. Buat amannya, stick to the steaks!

Review versi lain ada di jurnal Ade

Tuesday, November 23, 2004

Pertama kali ketemuan ama Agung dan Ida

Setelah Ade rajin sms-sms an dengan Ida untuk curhat, akhirnya ketahuan kalau hari Minggu, 24 Nov lalu Agung dan Ida akan ada di Stasion KA Bandung.

Kebetulan Ade dan saya ada disana juga hari itu untuk keperluan nganter Dian, adiknya Ade untuk kembali ke Jakarta karena besok harinya sudah harus kembali kerja. Sedangkan Ade, karena ngotot ingin nemenin saya buat operasi usus buntu maka bakalan pulang belakangan.

Setelah aneka rangkaian proses terjadi, kita berhasil ketemu Ida dan Agung didepan musholla lama muka Kebon Kawung. Saat itu ujan udah mulai rintik deras, tapi kita tetep mutusin untuk jalan keluar stasion dan nyari makan. Agung nyaranin buat mampir ke Warung Cepot di jalan Sukajadi, biar saya bisa bandingin nasi Tutug Oncomnya sama punyanya nyokap.

Kita nyampe disana setelah naek angkot sekali. Satpam tergopoh-gopoh berusaha memayungi kita walaupun rada redundant karena kita dah tinggal sepeloncat kodok lagi nyampe. Kita kebagian duduk deket tembok berair yang juga sudah mulai berlumut, dan mulai menilik menu yang disajikan.

Setelah bertanya-tanya dengan detail, dan tidak berhasil menemukan Nasi Tutug Oncom yang dimaksud, kita akhirnya mutusin buat mesen dua paket "Ayam Pejet Hejo", dan dua paket "Nasi Gepuk Komplit". Sambil nunggu makanan datang kita lantas ngobrol sana-sini sambil nyemil kerupuk aron yang disajikan free, dan keripik Gadung yang Ida bawa.

Agung keliatan jauh lebih muda dari foto-fotonya di web. Kalo aja nggak kenal sebelumnya, pasti dah saya sangkain anak sekolahan. Keliatan kalau Agung ama Ida dah kompak banget, karena mereka gak segan-segan untuk saling adu menceritakan pengalaman memalukan tentang pasangan masing-masing, he he he.

Sayang pembicaraan dan pertemuan gak berlangsung lama karena Agung dah harus balik ke stasion lagi buat ngejar jadwal kereta. Di akhir acara makan, kita sempet foto-foto dulu buat bukti kalau-kalau ada yang nuduh cerita ini cuma rekaan doang.

Setelah memakai taksi memutar Cicendo gara-gara jalan yang searah, Agung dan Ida lalu turun di depan stasion, sementara saya dan Ade melanjutkan perjalanan bersama buntelan-buntelan kami kearah Ciateul. Niat buat naek angkot batal karena ternyata agak sulit naek-turun kendaraan sambil bawa-bawa dua tas travel plus beberapa kantong keresek.

Ntar kalau Ida dah mulai kerja, rencananya kita bakalan ketemuan lagi di Jakarta buat double date sambil jajal tempat makan lain. Untill then...