Sunday, October 22, 2006

Menyikapi perbedaan penentuan 1 Syawal 1427H

Di rumah mertua sini lagi ada sedikit perselisihan... topiknya apa lagi kalo bukan "Kapan Lebaran?". Soalnya semenjak Muhammadiyah menyatakan penetapan hari Lebaran (Idul Fitri) yang berbeda dengan keputusan Negara (via MUI), maka bibit-bibit perpecahan pun mulai muncul...

Mengapa Muhammadiyah menetapkan keputusan berbeda? Ini terjadi karena perbedaan cara perhitungan. MUI menerapkan sistem pemantauan terhadap "hilal" (tanda munculnya bulan baru), alias metode "rukyat", sedangkan Muhammadiyah cenderung mempergunakan sistem "hisab" (perhitungan).

Lantas kalau dikaitkan mengenai pemerintah Arab Saudi yang ternyata menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Senin, 23 Oktober 2006, gw gak terlalu peduli... kenapa? Bukannya karena sistem perhitungan mereka cacat, namun antara Arab Saudi dan Indonesia terdapat perbedaan letak geografis yang cukup significant, sehingga tidak secara otomatis apa yang berlaku di Arab Saudi, berlaku pula di Indonesia. Sedangkan bedasarkan sunnah Nabi, seorang muslim harus memakai perhitungan berdasarkan lokasi dimana ia berada, bukan berdasarkan perhitungan di Arab... Jadi dalam hal ini ummat muslim harusnya mengikuti keputusan yang dibuat oleh para alim ulama dari negaranya, kecuali kalau memang dianggap tidak ada yang kompeten.

Kalo dulu-dulu gw dan keluarga selalu kompak, dan selalu ngambil kata sepakat, maka keliatannya di keluarga mertua sistem ini kurang berjalan... Salahsatu ipar isteri, menyatakan pertimbangan bahwa menurutnya, MUI tidak menerapkan sistem perhitungan yang komprehensif dan cenderung hanya mengandalkan pada rukyat. Padahal ada beberapa metode yang harus ditempuh untuk penentuan hal ini... Jadi karena khawatir melaksanakan yang haram (jika ternyata benar 1 Syawal 1427H jatuh pada hari Senin, maka puasa hari itu diharamkan), maka ia memutuskan untuk menerima pendapat Muhammadiyah akan penentuan tanggal 1 Syawal; hari Senin, 23 Oktober 2006.

Duh bingung... Namun dengan tidak mengecilkan pendapat ipar (maupun negara), maka gwpun melakukan apa yang biasa gw lakukan kalau menghadapi ambiguity; Googling!

Hal pertama yang gw perlu ketahui adalah, "Bagaimanakah pendapat ormas dan orpol Islam lainnya mengenai hal ini?"

Jika pendapat Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama sudah sering diudarakan di TV, bagaimanakah dengan pendapat pihak lain? Pihak yang kredibilitasnya bisa gw percaya secara pribadi? Maka gwpun berusaha mencari tahu gimana keputusan dari Partai Keadilan Sejahtera, alias PKS; orpol Islam yang dalam kampanye dan aksi2 nya selalu melancarkan image positif, simpatik, dan santun.

Ternyata berbeda dengan pendapat ipar, Dewan Syariah Pusat PKS dalam website resmi PKS menyatakan keputusan untuk menetapkan tanggal 1 Syawal 1427H pada hari Selasa, 24 Oktober 2006, mengikuti keputusan negara. Lucunya, salahsatu hal yang mereka "garisbawahi" adalah perkara "berjama'ah".

Mengenai berjama'ah ini sendiri kebetulan sudah pernah gw temui pada beberapa wacana dari teman-teman MP maupun artikel-artikel di web, mengenai adanya hadist Nabi yang mengharuskan "berjama'ah" ini sebagai salahsatu aturan dasar penentuan. Tapi in the mean time, gimana sih pendapat ormas / orpol Islam lainnya?

Dari NU, Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghozali Masroeri, di Jakarta menyatakan, melihat bulan dengan mata kepala (ru`yatul hilal bil fi`li) untuk menentukan awal bulan Qomariyah atau Hijriah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sesuai dengan perintah Nabi

Muhammad SAW. Adapun hisab atau perhitungan menurut cara ilmu pengetahuan (astronomi) hanya berfungsi sebagai pembantu belaka.

(http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=269234&kat_id=23)

Sedangkan dari Persis, didapatkan juga hal yang sama; 1 Syawal 1427H jatuh pada hari Selasa, tanggal 24 Oktober 2006. (http://www.persis.or.id/site/index.php?option=com_content&task=view&id=28)

Oke, ternyata sebagian besar dari ormas/orpol Islam ini menyatakan "rukyat" (melihat bulan secara visual) sebagai dasar penentuan mereka. Lantas pertanyaan berikutnya adalah, "Gimana sih sebenernya posisi atau kedudukan antara dua metode; rukyat vs. hisab ini?"

Kembali ke Googling... dan dapet satu artikel yang isinya cukup komplit walaupun dipasang bukan di website yang gw kenal... Dan beginilah runtutan fakta yang bisa gw telaah....

FirmanNya:
Mereka bertanya tentang hilal. Katakanlah:: "Sesungguhnya ia adalah penentu waktu bagi manusia. (QS Al Baqarah:189). 
Sabda Nabi:
Berpuasalah kalian dengan melihatnya, dan berbukalah dengan melihatnya. (Hadits).
Berdasarkan dua sumber hukum itu saja sudah tertera jelas bahwa cara perhitungan / penentuan awal bulan Islami adalah melalui metode melihat hilal secara visual.

Lalu bagaimanakah jika ternyata hilal tidak bisa dilihat pada saat diperkirakan sudah waktunya berganti bulan?

Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar , berkata:
"Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya, Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin
mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Id". [15] 
Jika belum terlihat hilal, maka teruslah berpuasa! Dan karena para pengamat MUI di pelosok tanah air ini per-Maghrib hari Minggu 22 Oktober 2006 ini belum ada yang melihat hilal, maka berarti untuk wilayah Indonesia tanda pergantian bulan belum terlihat, jadi pada hari Senin 23 Oktober 2006 kaum muslim masih diharuskan untuk berpuasa.

Lantas pertanyaan berikutnya, "Bagaimanakah penyelesaiannya jika ternyata antara para ahli ada yang berbeda pendapat?"

Sabda Rasulullah:
"Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, lalah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih."
Ash Snan'ani, ketika mensyarah hadits ini berkata: "Dalam hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia, karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru'yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka". [14]

Ternyata untuk penentuan bulan baru yang terkait dengan ibadah-ibadah khusus (Sholat Id, Qurban) maka faktor bersama-sama adalah penting! Dan bukankah Islam berulangkali menempatkan masalah berjama'ah ini sebagai suatu prioritas?

Dan dalam hal ini, walaupun Republik Indonesia bukanlah negara Islam, namun karena pemerintah Republik Indonesia memiliki dewan yang dianggap cukup credible untuk menentukan penanggalan Islami (termasuk penentuan jatuhnya tanggal 1 Syawal), maka keputusan negara memiliki kedudukan yang prioritas. Apalagi metode yang mereka pakai adalah metode yang memang kuat landasan hukumnya.

Lalu jika kembali ke pembahasan diawal mengenai "khawatir melaksanakan shaum yang haram pada tanggal 1 Syawal, jika ternyata negara membuat keputusan yang salah", ternyata ada hadistnya juga dari Nabi:

Nabi bersabda tentang para penguasa:

"Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka"

Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum Muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan. [17]

Jadi dalam hal ini, Nabi menjamin bahwa seorang muslim berada dalam posisi yang aman, jika dikaitkan terhadap kemungkinan kesalahan keputusan pemerintah / penguasa. Sedangkan sikap memutuskan untuk tidak berpuasa pada hari Senin, 23 Oktober 2006 karena khawatir melaksanakan sesuatu yang haram, dan tokh bisa diganti (qodho) dengan shaum dilain waktu, gw anggap sebagai suatu sikap yang kurang tegas...

Jadi sebagai kesimpulan akhirnya:

Berdasar pada metode rukyat, plus hadist Nabi mengenai keutamaan melaksanakan 1 Syawal bersama-sama, dan anjuran Nabi untuk mengikuti keputusan pemerintah, maka gw pun memilih untuk mengikuti 1 Syawal-nya Pemerintah RI: pada hari Selasa, 24 Oktober 2006.

Sekian, kalau ada rekan-rekan yang memutuskan untuk merayakan 1 Syawal 1427H pada hari Senin 23 Oktober 2006 ini, silakan... anda pasti punya pertimbangan tersediri yang anda yakini benar... Lagipula tanggung-jawabnya tokh bukan dengan teman/sahabat/lingkungan, tapi terhadap our own conscious dan dengan Alloh SWT. Yang pasti, sekarang gw udah nggak galau lagi karena keputusan gw udah berdasarkan pengertian, bukan ikut-ikutan semata. (bay)

Catatan:

[14] Subulus Salam (2/134).

[15] Hadits dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitab Shalat, Bab (Idza Lam Yakhrujil Imam Ul 'Id...) no. 1.157.

[17] Majmu' Fatawa (25/206).

Sumber2 dalil tersebut dikutip dari: http://forsitek.brawijaya.ac.id/index.php?do=detail&cat=fatwa&id=ftw-hariraya, dicopy dari: Majalah As-Sunnah Edisi 07 [Tahun VIII/1425H/2004M]