Wednesday, April 28, 2010

Manajemen Cita-Cita dan Waktu

Satu hal yang sering kita kurang sadari adalah kenyataan, bahwa walaupun imajinasi kita tanpa batas, namun kita memiliki waktu yang sangat terbatas, dan karenanya maka waktu yang sangat terbatas ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Salahsatu cara untuk mencapai hal ini, adalah dengan manajemen cita-cita dan manajemen waktu.

Manajemen cita-cita maksudnya adalah pengaturan terhadap apa yang kita ingin raih dalam hidup, sehingga terdapat suatu pembatasan yang jelas apa yang ingin kita kita raih, dan apa yang tidak ingin kita raih (scoping).

Sedangkan manajemen waktu maksudnya adalah pengaturan terhadap sumber daya waktu yang kita miliki, agar terjadi pemusatan pada hal tertentu, untuk mencapai hasil yang diharapkan (scheduling).

Sebagaimana surya kanta membantu memusatkan sinar matahari yang hangat, menjadi kekuatan yang mampu menghanguskan; seperti itu pulalah yang akan terjadi kala kita memberikan fokus yang jelas terhadap semua potensi yang kita miliki.

Ambil contonya sebagian dari kita yang sedari dini sudah memiliki fokus; les piano sedari kecil dan terus berlanjut hingga dewasa, akhirnya menjadi komposer dan pencipta lagu terkenal; les Tae Kwon Do sedari SD, dan pelatihan tidak terhenti hingga ketika dewasa menjadi juara di PON, atau bahkan di kejuaraan dunia.

Terlepas dari apakah kita termasuk kalangan tersebut, normal atau tidakkah perkembangan hidup kita, satu hal yang pasti adalah: keberhasilan tersebut bisa diraih karena adanya fokus. Fokus yang menyebabkan, terjadinya pemusatan energi dan sumber daya pada suatu hal, yang jika hal ini kemudian dilakukan dalam kurun waktu yang cukup, maka akan membuahkan hasil yang luar biasa. Ini adalah suatu rumusan baku hidup, dan bisa dibuktikan oleh siapapun, tanpa memandang kasta, latar belakang, atau status sosial.

Pencarian Fokus

Lantas bagaimana halnya dengan anak-anak, yang kelihatannya banyak tertarik pada aneka ragam hal, dengan intensitas yang naik turun? Mencoba ini-itu, ikut les sepatu roda cuma tahan tiga bulan, trus ikut les gitar cuma tahan enam bulan? Awalnya bercita-cita jadi Astronot tapi semasa sekolah malah ngambil kelas IPS? Apakah itu pemborosan waktu? Mismanajemen cita-cita? Saya rasa bukan, karena pada tahap itu yang kita lakukan adalah eksplorasi: pengembaraan, pembukaan wawasan, pembangunan persepsi. Yang perlu disadari adalah, tahapan eksplorasi ini harus memiliki batas yang jelas, dan dilakukan dengan se-benar mungkin.

Disinilah perlunya peranan aktif para sesepuh, pendidik, dan sistem pendidikan, untuk membantu seorang anak menentukan fokusnya, dalam rentang waktu yang cukup.

Pilihan Fokus

Pencarian dan pemilihan fokus sendiri, akan sangat terpengaruh oleh karakter jaman dimana seseorang hidup, dalam artian, kita hanya akan tertarik pada apa yang bisa kita amati, apa yang ada dan terjadi di sekeliling kita. Berapa banyak anak ingin menjadi Astronot kala mengetahui Neill Amstrong sudah sampai ke Bulan? Berapa banyak anak ingin menjadi Superman dan loncat dari atap rumah, kala film Superman ditayangkan di bioskop? Berapa banyak anak ingin menjadi model dan artis, kala mulai mengetahui gaya hidup para model yang jet-set itu? Berapa anak ingin menjadi Polisi, kala menyaksikan sendiri kekuatan tersembunyi yang ditawarkan dari profesi ini?

Disinilah perlunya peranan aktif para sesepuh, pendidik, dan sistem pendidikan, untuk membantu seorang anak mengetahui pilihan-pilihan yang ia miliki, dengan potensi dan tantangannya masing-masing, sehingga ia dapat menentukan fokusnya sebaik mungkin, secara sadar.

Gimana kalau suatu saat ketertarikan saya berubah? Wajar saja. That's live.

Raihlah apa yang anda anggap penting dalam hidup, lakukan perubahan yang anda rasa perlu, as long as that's your conscious decision.

Tapi jangan karena anda merasa suatu saat mungkin akan berubah pikiran, maka dari sekarang pun anda tidak menentukan fokus. That's fool.  (bay)

Thursday, April 22, 2010

Standar kesuksesan hidup berdasar umur

Sebenernya ini kejadian lucu-lucu enggak, secara ada lucunya emang, tapi dalam konteks tertentu malah nggak lucu...

Begini ceritanya...

Antara Penampilan dan Usia

Unyil barangkali adalah tokoh paling awet muda di Indonesia, terbukti bahwa di usianya yang sudah menjelang 40 tahun, penampilannya tetap se-segar masa ia masih tayang di TVRI, 30an tahun lalu.

Walaupun tidak se-ekstrim unyil, kadang ada saja kejadian yang membuat saya khawatir, apakah saat itu secara tidak sengaja saya masih mengenakan tas selempang, kaos oblong berlapis kemeja flanel, dan beralas kaki sendal jepit?

Misalnya beberapa hari lalu, di kelas English Course menjelang istirahat usai, saya kebagian berada dalam satu ruangan dengan Steven, sang pengajar, dan jadilah kamipun mengobrol. Dari topik yang umum, Steven lalu beranjak ke menanyakan kota asal plus pendidikan saya, dan disinilah kelucuan itu terjadi.

Mendengar kalau saya mulai kuliah tahun 1992 dan lulus tahun 1998, serta saya sudah berkarir lebih dari sepuluh tahun, dan sudah punya anak satu, Steven terlihat terkejut sekali. Sayapun tertawa sambil dalam hati saya berujar "Ooh, here we go again". Memvalidasi keterkejutannya, Steven berujar kalau penampilan saya sama sekali tidak mencerminkan umur yang sudah 35an tahun, dan sudah punya anak satu. Dalam konteks memuji, Steven menambahkan, soalnya dibandingkan dengan peserta sekelas lainnya, sayalah yang justru kelihatannya tidak seperti seorang bapak.

"Oh? And so, how should a father looks like then?" tanya saya penasaran
"Stressful, they have to look stressful!" balas Steven

Oh ya? Hahaha! Ada-ada saja Steven ini. Berhubung yang bersangkutan memang belum menikah, dan berusia jauh dibawah saya, maka pemahamannya ini ya sah-sah sajalah, walaupun sebenarnya stress atau tidak itu lebih tergantung pilihan hidup, bukan karena pertambahan usia.

Sedangkan "Ooh, here we go again" dari saya, muncul karena serangkaian peristiwa yang beberapa kali teralami terkait hal ini. Walau sudah banyak uban, waktu masih kost di Jl. Tambak di sekitar tahun ke-5 saya kerja di Jakarta, masih ada tukang warung yang nanya sama saya pas beli makan malem; "Pulang kuliah ya mas?", disambut dengan senyuman sumringah di bibir saya karena merasa diri awet muda.

Kali berikutnya, atau tepatnya sebelumnya, terjadi sewaktu mengantarkan ibunda berangkat bersama rekan-rekan alumnus sekolahnya untuk acara reunian. Ada seorang rekan ibunda yang kemudian bertanya; "Kuliah di mana sekarang?", padahal saa itu saya sudah tiga tahunan bekerja di Jakarta.

Ketika hal ini terjadi lagi di kantor sekarang, yang ada sebenarnya bukan perasaan sumringah lagi namun sudah lebih banyak bercampur dengan perasaan khawatirnya.

Memang beralasan juga sih, secara dari penampilan dan gaya berpakaian, saya terlihat rada beda dengan rekan-rekan kantor lainnya, termasuk yang satu angkatan. Soalnya banyak "bapak-bapak" disini yang setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata hanya terpisah satu tahun atau malah sebaya dalam usia. Senior Manager sayapun ternyata berasal dari satu almamater dengan saya, hanya saja terpaut dua angkatan, lebih muda!

Bakat bawaan orok kah?

Antara Pendidikan Seni Rupa Dan Musik Jazz

Kalau saya perhatikan lebih mendalam, ternyata kasus terlihat lebih tua ini terasa benar kalau sedang bergabung dengan rekan-rekan alumnus SMP, atau SMA, tapi tidak terhadap rekan-rekan satu kuliahan. Mungkin itu sebabnya? Basis pendidikan Seni Rupa?

Satu hal yang seringkali teramati dari para rekan-rekan yang sekarang terlihat menua itu adalah soal keseriusan, keseriusan dalam sikap, termasuk menurun drastisnya semangat bermain atau bercanda dari mereka. Mirip seperti temen-temen masa SMP / SMA dulu yang sedari dulu itu sudah suka musik Jazz! Apalagi kalau sampai jadi pemain instrumen dan tidak sekedar penggemar, maka mereka cenderung terlihat serius sekali, susah bercanda, dingin, dan membatasi diri. Mirip juga seperti sikap isteri saat masa-masa awal dulu bertemu, isteri yang kemudian ketahuan kalau dia juga adalah penggemar musik Jazz!

Jadi itukah yang menyebabkan seseorang terlihat muda? Semangat bermain dan jiwa Seni Rupa? Sedangkan yang menyebabkan seseorang terlihat tua adalah kegemarannya akan musik Jazz?

Lepas dari analisis sangat subyektif tersebut, karena saya termasuk salahsatu ayah yang di usia 30an ini masih gemar head bang kalau dengerin Metallica, tapi ngorok kalau diajak nonton konser Jazz, saya melihat ada satu implikasi kurang menyenangkan dari kasus ini:

Semua komentar positif yang saya terima di tempat kerja, atas hasil kerja yang memuaskan, apakah itu muncul dengan dasar anggapan bahwa saya masih remaja usia 20an? Kalau iya ya bahaya..! Soalnya jika demikian, maka standar mutu buat diri saya selama ini masih terlalu rendah. Saat semestinya saya dinilai berdasarkan standar yang sama dengan rekan yang sudah menempati posisi Senior Manager atau Project Manager (dan saya di Senior Staff), kalau saya masih dinilai berdasarkan standar lima tahun lebih muda, alias standar diri saya lima tahun lalu, maka ada jurang sangat besar atas apa yang sudah saya capai, dengan apa yang semestinya saya sudah capai. Dan ini akan berakibat buruk pada kualitas hidup yang bisa saya raih.

Karena regardless of my perceived age, umur nggak bisa bohong, dampaknya ada, terutama terhadap batasan dari apa yang bisa dilakukan, dan apa yang tidak. Batasan penerimaan kerja untuk seorang Junior Manager di suatu perusahaan misalnya, adalah sekitar 35 tahun. Kalau saat usia sebegitu prestasi saya belum mendukung, karena selama ini selalu dianggap anak muda, maka niscaya kesempatan untuk meraih posisi tersebut akan tertutup.

Dalam kondisi seperti ini, maka pilihannya akan jadi sangat berkurang. Kompensasi yang anda dapatkan juga biasanya dibawah rata-rata. Ini karena secara komparatif terhadap rekan sebaya, performance anda terhitung ada dibawah rata-rata. Alamat karir bisa mandek.

Standarisasi Baku Prestasi Terhadap Usia

Kalau di perusahaan sekarang ini saya banyak menemukan standar "BOK" ini dan itu (Body of Knowledge), sayangnya di dunia nyata, nggak ada standarisasi baku atas apa pengharapan dunia pada kita sebenarnya. Bisa jadi kita merasa puas bisa bertahan di posisi sekarang, padahal banyak kesempatan lebih tinggi terlewatkan gara-gara kita / masyarakat salah menerapkan standar kualitas pada diri kita. Waktu berlalu, kesempatan lewat tanpa sempat terdeteksi sekalipun bahwa peluang itu pernah ada.

Bisa jadi kita bisa merasa puas bersaing dengan rekan sebaya dalam memperoleh standar hidup dan karir yang dianggap maju untuk skala nasional. Lah skala regional gimana? Internasional? Suka atau tidak, Indonesia masih menyandang status "Negara Berkembang", di usianya yang sudah 65 tahun merdeka ini. Sementara Singapura dan Malaysia, sudah berhasil mencapai prestasi yang jauh lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Begitu juga dalam waktu yang relatif lebih singkat, Jepang bangkit dari keterpurukan dan menjadi salahsatu raksasa ekonomi dunia, dan kiblat perkembangan teknologi modern, terutama di bidang robotik dan Artificial Intelligence.

Saat kita masih malas-malasan untuk belajar Bahasa Inggris, negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura sudah meraup banyak manfaat di dunia internasional dari kemampuan masyarakatnya dalam berbahasa Inggris. Atau India sekalipun, yang katanya memiliki budaya dan tingkat ekonomi mirip dengan Indonesia, tapi banyak warganya yang bersekolah di Inggris, menjadi pengusaha sukses di luar negeri, atau menjadi ilmuwan pakar di berbagai Universitas Internasional.

Saat kita masih menggunakan standar bapak kita dulu dalam hal kemakmuran, tuntutan hidup sudah berubah meningkat 400%. Saat gw merasa puas pertama kali menduduki posisi manager beberapa tahun lalu, gw perhatikan, lah... manajer lainnya ternyata rata-rata usianya lima tahunan lebih muda dari gw! Direktur Utamanya malah dua tahun lebih muda dari gw! Saat pertama kerja di Wizoffice dulu, para boss nya berusia antara satu tahun diatas saya, hingga empat tahun dibawah saya. Kala saya masih ribet mengurusi tugas yang cuma tiga-empat desain seminggu, mereka sudah bertanggung jawab membesarkan bisnis sekaligus menafkahi orang lain! Dan kelihatannya standar mereka masih terus meningkat, secara mereka kini menjadi Direktur-direktur di perusahaan besar nasional, while I'm still here...

Hal ini saja sudah menunjukkan betapa berbedanya standar yang saya pakai dengan standar yang mereka pakai.

Memang banyak faktor penentu, seperti misalnya pendidikan luar negeri, yang nota bene berarti latar belakang keluarganya relatif sangat makmur; tapi semangat perjuangan hidup tidaklah bisa dibungkus berdasarkan dari mana kita berasal, siapa kita tadinya, melainkan dengan kemana arah tujuan kita, dan ingin menjadi apa kita kelak.

Lantas gimana caranya membuat diri bisa bersaing dengan para mereka yang sudah curi-start lebih dulu beberapa tahun, atau malah mungkin beberapa generasi sebelum kita hidup?

Caranya adalah dengan hidup dalam standar tuntutan dan kualitas yang dipakai oleh orang-orang yang berhasil!

Gampang-gampang susah, karena nggak semua orang berhasil rela bagi-bagi standarisasi internal diri mereka sendiri. Atau simply karena nggak pernah ada yang minta? Coba deh buat yang merasa sudah berhasil, bagi-bagi ilmunya sedikit disini? Share apa saja kualitas yang menurut anda membuat anda bisa mencapai lebih dari rata-rata orang?

Standarisasi Kinerja dalam Perusahaan

Kembali ke soal "BOK", untungnya, di perusahaan sekarang untuk penilaian kenaikan tingkatnya ada sistem bernama Competency Review System alias CRS, dimana masing-masingnya memuat serangkaian Body of Knowledge yang harus dikuasai, berikut Positive - Negative Indicator nya alias PNI. Hal ini cukup memudahkan dalam mencari tahu standar apa yang diharapkan oleh perusahaan. Tidak berdasar umur memang, tapi mau tidak mau terkait erat;

Gunakan standar mereka yang saya tahu usianya lebih muda, tapi kedudukannya lebih tinggi dari saya.


Mampukah saya mengubah diri sehingga cocok untuk berprestasi berdasarkan standarisasi tersebut? Harus, kalau memang ingin maju.

Manfaat Sesungguhnya Menempati Posisi Eksekutif

Menjadi "Manager" atau "Direktur", ataupun titel eksekutif lainnya, bukanlah perjuangan sekedar mengejar title; karena dalam praktik yang sehat, posisi tersebut hanya bisa dicapai oleh mereka yang memang memiliki kemampuan managerial dan kepemimpinan untuk menjalankan posisinya dan segala tanggung-jawabnya.

Yang saya "buru" dan kejar dari posisi sedemikian, justru adalah hal terakhir tersebut; kesempatan mempraktikkan dan melatih skill managerial. Karena jika seseorang memiliki kemampuan managerial yang baik dan terlatih, kepemimpinan yang kuat, setara yang dibutuhkan oleh posisi-posisi yang penting tersebut, maka terlepas dari bagus atau tidaknya kompensasi perusahaan yang didapat, beratnya tugas yang harus dijalankan, ia sudah memiliki suatu modal yang kuat untuk making things happen; baik di dalam karir maupun di luar itu. Untuk me-manage diri sendiri, me-manage keluarga, anak, pergaulan, lingkungan, organisasi sosial, untuk bisa memiliki kinerja yang lebih bagus, dan pada akhirnya, hidup yang berkualitas tinggi.

Ujung-ujungnya? Untuk kemaslahatan (kebaikan) diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita.

Karena berbeda dengan pengetahuan (knowledge), managerial dan kepemimpinan adalah keterampilan (skill), yang hanya bisa dikuasai melalu praktik dan latihan. Dan sarana latihan apa yang lebih baik selain menjadikannya tuntutan profesi? Secara rata-rata kita tentunya minimal menghabiskan waktu hingga 40 jam seminggu di tempat kerja mempraktikkan skill ini? Bahkan seringkali lebih?

Dibayar pula? :)

Jadi ngapain harus repot-repot menempati posisi penting yang harapan dan tanggung-jawabnya tinggi? Untuk melatih diri kita sendiri. Karena tuntutan akan memaksa kita untuk mengembangkan kemampuan di bidang tersebut. Tantang diri kita sendiri, karena hanya dengan cara itulah kita akan tumbuh.

Jadi bagi mereka yang sering berhadapan dengan peluang untuk beranjak maju, naik ke posisi lebih penting tapi lantas mundur karena khawatir, maka raihlah kesempatan; karena dengan tuntutan yang lebih tinggi tersebut niscaya anda kelak akan bisa menjadi agen perubahan positif terhadap diri anda sendiri, terhadap hal-hal yang anda anggap penting, dan terhadap orang-orang yang anda sayangi.

Mengutip ucapan Barrack Obama saat kampanye kepresidenannya dulu:

"We are the changes that we've been waiting for"

(bay)

Cara meraih sesuatu yang lebih baik

Cara yang terbaik untuk meningkatkan apresiasi dunia terhadap diri kita, adalah dengan meningkatkan nilai manfaat diri kita bagi orang lain.

Pemilik bisnis yang sukses, biasanya memiliki kemampuan untuk melayani para pelanggannya dengan baik dan memuaskan, baik dalam bentuk produk maupun jasa. Aktor yang sukses, biasanya memiliki kemampuan untuk membuat penonton film percaya pada karakter dari tokoh yang ia perankan, sehingga pesan dan kesan film tersampaikan dengan sempurna, sehingga memancing minat banyak penonton untuk menonton film tersebut. Seorang super-manager memiliki kemampuan untuk membesarkan bisnis si pemilik perusahaan, sehingga pemilik tak segan-segan memberikan kompensasi yang luar biasa, soalnya kontribusi si super-manager berpengaruh langsung kepada profit yang didapatkan perusahaan, yang pada ujungnya akan menguntungkan si pemilik perusahaan.

Akan halnya pada aliansi, seorang kepala negara akan dianggap sekutu oleh kepala negara lainnya kalau ia bisa memberikan kontribusi positif bagi negara yang dipimpinnya; baik itu kerjasama ekonomi, pertahanan, atau di bidang lainnya, suka rela atau tidak ada pilihan. Bersamaan dengan aliansi maka akan datang pula penghargaan dan kompensasi yang menguntungkan.

Jadi sebenarnya salahsatu modal dasar untuk keberhasilan hidup ini sangat tergantung kepada seberapa besar kualitas manfaat dan pelayanan yang bisa kita berikan kepada orang lain. Mirip seperti hadist Rasulullah SAW:
“Khairun naasi anfa’uhum linnaas.”
Yang terjemahan bebasnya:
"Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain".
 (bay)