Monday, November 15, 2010

Rencana berolahraga, dan karakter 'performing friendly' nya Bali

Sedari kecil, salahsatu olahraga yang saya cukup kuasai adalah berenang, walaupun bisanya cuma gaya dada. Sayangnya terkait kesibukan dan kemalasan, selama sembilan tahunan tigggal di Jakarta nyaris nggak pernah berenang sama sekali; nggak ada temen, jadi nggak ada waktu. Lagian berbeda dengan olahraga jenis lain dimana kita bisa sekaligus bersosialiasi, maka saat berenang dan tidak bisa multi-tasking, maka beramah-tamah dengan sesama perenang cenderung rada lebih sulit secara teknis.

Semenjak pindah ke Bali, dan membiasakan Zayan untuk kenal dengan air, maka kegiatan mengunjungi kolam renang kembali menjadi suatu kegiatan cukup rutin, walaupun pada kesempatan ini saya lebih sering duduk di sisi kolam dan browsing di netbook, sementara isteri menemani Zayan bermain air.

Keadaan berbalik ketika kemudian isteri memutuskan untuk memakai hijab, dan "free pass" kami ke kolam renang salahsatu hotel di Denpasar ini hilang karena tetangga yang notabene adalah manajer di sana pindah kembali ke Jakarta. Untuk menjaga tingkat ketertarikan Zayan terhadap air maka kamipun mulai secara rutin mengunjungi kolam renang umum di pertokoan Tiara Dewata (satu-satunya kolam renang dalam area shopping mall di Indonesia?), dan sayalah yang kemudian berganti tugas menjadi pengasuh Zayan bermain air.

Satu-dua kali nemenin Zayan, rasanya cukup puas dengan ikutan maen aer saja. Namun lama kelamaan rasanya penasaran juga untuk nyebur dan berenang beneran. Kalau mantan presiden RI BJ Habibie saja konon melakukan 8 kali bolak-balik renang setiap pagi untuk menjaga stamina, dan efeknya positif, kenapa nggak coba ditiru?

Berenang kembali

Akhirnya saat itupun tiba; pada kali ke tiga atau ke empat menemani Zayan, setelah kelar memandikan Zayan sayapun meminta izin pada isteri buat betulan berolahraga dahulu sambil coba-coba apa bisa ngikutin Habibie dengan rutinitas 8 kali bolak-balik. Dan sayapun kembali berenang.

Hasilnya? Luar biasa... hancurnya! Untuk menempuh satu panjang lintasan pun (belum bolak-balik) badan rasanya copot onderdil disana-sini... napas ngos-ngosan, tenaga terkuras, dan rasanya sangat nggak nyaman!.... Namun demi kemajuan dan kesehatan maka akhirnya kali pertama itupun dipaksakan supaya bisa 4 kali bolak-balik sisi panjangnya kolam renang Tiara Dewata. Cukup 4 kali, itupun bukan non-stop tapi disela jeda sangat panjang antara sekali tempuh dengan lainnya. Kali pertama berenang itupun ditutup dengan keletihan fisik yang amat sangat, plus rasa tidak nyaman yang sangat mengganggu; otot lemas, badan sakit, sistem syaraf agak-agak "meriang" seperti kalau sedang demam, dan pusingnya seperti sedang migrain. Walhasil hari itupun seharian penuh rasanya nggak enak badan, seperti nyaris pingsan, dan lemesnya sampai dua - tiga harian.

Namun walaupun pengalaman pertama tersebut sangat tidak menyenangkan, minggu berikutnya kembali saya jajal berenang. Herannya kali ini, walaupun tetep diselingi waktu istirahat yang lama, namun 4 kali bolak balik ternyata tidak sampai membuat migrain; dan sayapun kembali menemukan ritme yang dibutuhkan untuk berenang dengan enak. Hari itupun saya akhiri setelah berhasil menempuh 6 kali bolak-balik berenang; masih dengan badan lemas, kehabisan napas, namun tanpa migrain atau sakit di otot.

Kali ke-tiga, 4 kali bolak-balik ditempuh dengan napas ngos-ngosan tapi minus ketidak nyamanan yang biasanya menyertai, makanya diteruskan lagi ke 6 kali bolak-balik, dan di lintasan terakhir malah sempat "sprint". Selain napas ngos-ngosan, nyaris tidak ada efek negatif lain yang muncul, malah rasa lemas pun hilang hanya dalam hitungan menit! Kemampuan energy recovery yang meningkat cepat ini ternyata dibarengi juga dengan peningkatan power, dan semangat positif; saya mulai bisa push-up lagi secara rutin, dalam kuantitas yang mengalahkan prestasi saya di masa masih rajin b'gaul dengan Ganesh di awal-awal masa kerja, atau semasa saya masih SMA dulu. 

Not much sih, cuma 25x satu sesi, tapi ini sudah prestasi besar untuk saya, secara sebelum2nya untuk bisa beres 20x pun sudah dengan perjuangan berat, dan lemesnya bisa sampai seharian susah ngangkat tangan. Kalau sekarang? 25x dan masih tetap bertenaga, lalu dikasih istirahat 15 menitan juga sudah bisa lagi untuk 25x set kedua! 

Apa yang terjadi? Sepertinya kondisi 'hampir pingsan' di saat kembali berenang di awal cerita ini telah bertindak sebagai "break in" gerbang penghambat energy flow saya; menyakitkan, tapi sangat bermanfaat.

Next Step

Next step? Rutin lagi pelemasan, dan latihan pergerakan dasar nya Aikido sambil latihan pernapasan. "Coming soon"nya adalah beli sand bag buat latihan power, dan aktif latihan lagi nunchaku buat memperbaiki timing dan feeling; kebetulan juga beberapa kali ke lapangan Bajra Sandhi ketemu dengan beberapa praktisi seumuran yang sedang latihan bersama piranti yang satu ini di sana, siapa tau bisa ikutan.

Untuk mulai latihan rutin lagi Aikido sepertinya masih belum... soalnya agak khawatir sama cedera punggung; dulu waktu badan nggak seberat sekarang aja gw dapet LBP (Lower Back Pain) gara-gara rutin jatuh duduk kala latihan. Apalagi sekarang saat lebih overweight lagi dibandingin dulu. Minimal olahraga rutin apa aja dulu buat memperbaiki stamina, kebugaran, dan kesehatan, nanti kalau berat badan dah turun baru dipikirkan lagi.

Performing Friendly

Oh iya, di taman Bajra Sandhi Denpasar ini, selain ada praktisi Nunchaku, kadang ada juga praktisi Capoeira yang latihan di sini, selain tentunya Yoga, Sepak bola, bulu tangkis, ketangkasan bersepeda (BMX), sampai ke cheer leaders, skate board, dan inline skate. Falun Dafa dengan aktivitas olah pernapasannya pun selalu hadir di sini. 

Satu fenomena yang menarik yang teramati, adalah mereka ini masing-masing asik dan terlihat santai saja dalam mempraktikkan dan berlatih skillnya tanpa ada rasa jengah atau feeling ingin show off... Para pengunjung taman yang melintas pun sepertinya tidak merasa kegiatan2 tersebut sebagai suatu keanehan; kalau suka ya silakan nonton, dan yang ditonton pun nggak jadi salting, sedangkan kalau nggak berminat ya tinggal lewat tanpa berkomentar, dan yang berkegiatan pun asik dengan kegiatannya sendiri. 

Mungkinkah attitude "performing friendly" ini muncul karena rata-rata penduduk Bali akrab dengan kegiatan kesenian dan pementasan? Jadi untuk performing di muka umum bukanlah lagi hal yang asing? Bisa jadi. Tapi apapun penyebabnya, yang pasti inilah salah satu sisi 'easy-going' kehidupan di Bali yang saya suka. (byms)

Zayan vs. Super Computer

Hari Minggu pagi kemarin, Zayan bangun beberapa saat setelah kami sholat Subuh. Sesudah kami ucapkan salam selamat pagi, Zayan pun lalu duduk sila, mengejap-ngejap matanya dan kemudian beranjak memanggil bapaknya dengan mesra; si bapak yang sedang bingung kenapa downloadnya semaleman mentok di 96% dan nggak bisa di-resume.

Z: "Bapaaaaaaaak"

B: "...Ya sayang?"

Z: "Satuuuuuu, duaaaaaaa, tigaaaaaa, empaaaaat, limaaaaa", katanya dengan merdu

Duh itu suara... indah terdengar di telinga, merasuk sampai ke hati...

Serempak saya dan isteripun bertepuk tangan menyemangati Zayan dan mengacungkan telapak tangan untuk toss. Zayan tersenyum gembira menyambut toss, walau masih dalam suasana kantuknya.

Itulah kegemaran Zayan akhir-akhir ini; berhitung, walaupun baru lancar sampai 5, tapi sekarang sudah benar urutannya. Sebenarnya sampai 10 pun sudah tahu, komplit sama versi English nya, tapi kadang masih suka lupa.

Lepas penguasaan flash card, selain berhitung Zayan juga sekarang dibiasakan oleh mamanya buat membaca tulisan generic yang ada di sekelilingnya; nomer rumah, poster, maupun menu hidangan di restoran -- walau masih terbatas pada koleksi kata yang sudah ia kenal saja.

Pelafalannya juga makin jelas dan spesifik; kalau dulu-dulu ia menyebut Upin dan Ipin sebagai "Upimi", maka mulai kemarin pagi ia sudah bisa berujar "Upin" dan "Ipin" dengan jelas. Atau "habis" instead of "abiss". 

Namun demikian Mr. Bean sepertinya masih ia sebut sebagai "Bicimi"; begitu juga halnya dengan kupu-kupu yang masih sering ia sebut sebagai "batteh" (butterfly, minus fly), atau "epel" untuk nanas (pineapple minus pine). Zayan juga masih sulit membedakan antara mana nanas mana durian, dan baginya (hampir) semua hewan dalam bahasa Inggris disebut "dog".

Tapi disamping kendala untuk pengucapan secara benar, yang mana saya anggap sangat normal untuk usianya, yang lebih penting dan mengagumkan sebenarnya adalah dalam kemampuan dia berpikir, dan baru setelah punya bayi sendirilah saya menyadari kalau kemampuan manusia untuk berpikir itu sungguh luar biasa. 

Di usianya yang belum dua tahun saja Zayan sudah seringkali mengejutkan dengan kemampuannya mengucapkan kata-kata yang tidak pernah kami ajarkan, termasuk juga dalam kemampuannya ber-asosiasi; mengenali sesuatu yang ia sudah kenal, pada hal-hal yang baru ia temukan -- suatu skill yang akan terus seseorang asah hingga di usia dewasanya kelak, dan menjadi dasar kekuatan ia dibandingkan mesin.

Disinilah salahsatu keunggulan utama manusia terhadap mesin, termasuk komputer, yaitu dalam hal berpikir lateral. Walaupun manusia akan sangat ketinggalan terhadap mesin dalam pemrosesan data secara formulaic, namun dalam kemampuan asosiasi dan pattern-recognizing manusia masih unggul. Google saja untuk bisa menyajikan hasil pencarian yang tidak hanya sesuai tapi juga relevan dengan kata kunci yang dimasukkan, harus bergantung pada rumusan yang rumit, pengumpulan data yang ekstensif, serta tenaga dari ratusan server berkekuatan tinggi; sedangkan manusia membangun kemampuan ini berdasarkan otak yang tidak seberapa hitungan kecepatan procesornya, kecil ukuran fisiknya, dan dimulai sedari dini.

Zayan mungkin belum tahu kalau ia (dan kita) memiliki suatu kemampuan yang lebih canggih dibanding kemampuan yang sama pada Super Computer buatan manusia yang berteknologi sangat tinggi sekalipun; kemampuan berpikir lateral, yang merupakan dasar dari kreativitas.

Kita hanya perlu mengetahui dengan tepat bagaimana memanfaatkan dan mengembangkan kelebihan yang satu ini, alih-alih dari bersaing face to face dengan mesin. (byms)

Thursday, November 11, 2010

Hak Cipta Otomatis vs. Hak Cipta Terdaftar (contoh kasus pengadilan)

Kembali ke soal hak cipta, hari ini gw nemu kasus cukup menarik dari situs hukumonline.com mengenai kekuatan hukum dari pendaftaran hak cipta sebagai berikut:
"Melalui sidang, Rabu (21/7), yang tidak dihadiri pihak tergugat maupun kuasa hukumnya, empat gugatan Wen Ken dikabulkan sekaligus. Majelis hakim yang diketuai Nirwana dalam pertimbangannya mengungkapkan, Wen Ken terbukti sebagai pencipta dan pemegang hak cipta dari lukisan Badak yang dipersengketakan. Pengumuman terhadap lukisan Badak yang dilakukan oleh Wen Ken sudah ada sejak tahun 1937.
Pihak Wen Ken memang tidak mendaftarkan hak cipta miliknya. Namun, berdasarkan ketentuan, hak cipta tidak wajib didaftarkan. Perlindungan terhadap hak cipta timbul semenjak hak cipta itu lahir.
Karena itu, majelis hakim memerintahkan Direktorat Hak atas Kekayaan Intelektual untuk membatalkan pendaftaran lukisan badak, baik sebagai merek maupun hak cipta yang dilakukan oleh Budi Yuwono dan PT Sinde Budi Santosa.
Kuasa hukum Wen Ken, Agus Nasrudin menyambut baik putusan hakim. Menurutnya, hakim masih berpegang pada kebenaran. Pasalnya, jelas terdapat bukti yang menunjukkan munculnya lukisan Badak sebagai hak cipta sejak tahun 1937."
Tulisan selengkapnya click disini

Jadi walaupun pendaftaran membantu memperkuat posisi pencipta sebagai pemilik hak cipta/copyright, namun dengan berpatokan pada terciptanya hak cipta secara otomatis melalui publikasi umum pun sudah bisa dijadikan landasan hukum.

Pengennya sih mendaftarkan saja toh biayanya cukup terjangkau, apalagi dalam konteks bisnis; cuma repotnya, informasi di website Dirjen HAKI masih terlalu samar-samar untuk bisa diikuti. Untuk contoh kecilnya saja, dari alur prosedur diketahui bahwa pendaftaran baru sah kalau disertai biaya pendaftaran, namun tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara pembayarannya. 

Kalau kita lantas berasumsi bahwa pembayaran hanya bisa dilakukan di loket pendaftaran di kantor mereka di Daan Mogot, Jakarta, apakah ini berarti pendaftaran hanya baru bisa dilakukan secara fisik? Jika ya, maka berarti ada biaya lain yang sangat significant dalam pengurusan dokumen HAKI ini; ongkos dan waktu -- dua hal yang akan sangat memberatkan mereka yang berasal dari luar Jakarta. Alternatifnya adalah melakukan pengurusan melalui biro jasa, dengan resiko tanggung sendiri, dan biaya jasa layanan yang juga bervariasi.

Jadi walaupun daftar biaya resmi nya untuk pencatatan Hak Cipta ini cukup terjangkau, oleh masyarakat biasa sekalipun, namun pada aplikasinya biaya pengurusan bisa jauh membengkak, yang mana menjadikan pendaftaran HAKI ini masih cukup memberatkan, terutama buat pemilik hak cipta yang berada di luar Jakarta. (bay) 

Monday, November 1, 2010

Takut mati...

Berhubung ada rekan yang reply di tulisan "Death List" yang gw tulis awal tahun 2008 lalu, jadinya keinget lagi sama kematian.

Sebetulnya sudah cukup lama juga akhir-akhir ini sepertinya diingatkan kembali mengenai hal yang satu ini, berulang kali... semoga bukan pertanda akan terjadi musibah buat gw, keluarga, maupun keluarga jauh... Baca tulisan Death List juga, sepertinya koq masih belum siap ya saya buat mati?

Dan kalau dulu dengan beraninya gw bisa bilang nggak takut mati, asal di jalan yang benar.... sekarang setelah ada anak dan isteri koq jadi malah takut sama mati ya? Terutama setelah ada anak; bukannya nggak sayang isteri , tapi secara doi dah dewasa bisa lebih tahan banting lah... cuma itu lho... kalau liat Zayan lagi tidur, bercanda, atau lagi rewel sekalipun... koq jadi ada perasaan nggak rela gitu, kalau sampai dia atau saya suatu saat harus "pergi" duluan...

Jadi inget ortu dulu suka rada lebay dan over-worries sama gw dan saudara2 lain... and now here I am finding myself in the same postition. Check-mate dude.

Pantesan juga orang yang sudah berkeluarga biasanya lebih serius ya... soalnya udah bukan dirinya sendiri doang yang harus dipikirin...

Salut buat para ortu yang sudah menghadapi dan berhasil melewati masa-masa over worries tersebut dengan bijak. (bay)

Gambar dari Wikipedia